DEMOCRAZY.ID - Ulama NU Gus Muwafiq menilai tak ada masalah budaya sajen dalam Islam.
Dia menganggap spiritual keagamaan yang membudaya di masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu seperti pemberian sajen hingga penanaman susuk di tubuh merupakan praktik survival manusia di zaman dahulu.
Ulama bernama KH. Ahmad Muwafiq itu menyatakan hal itu terkait keberlangsungan hidup manusia yang tidak bisa secara sederhana dianggap melenceng dari ajaran agama Islam.
Praktik-praktik budaya seperti itu bahkan sudah terjadi jauh sebelum era Rasulullah.
Hal itu disampaikan oleh Gus Muwafiq dalam serial Inspirasi Ramadan bertajuk "Budaya Sajen dalam Perspektif Islam" di akun BKN PDI Perjuangan di YouTube, Sabtu (30/4/2022).
"Tidak apa-apa (Islam memandang budaya sajen), di Indonesia ada kemenyan, di Arab ada yang dikenal dengan bukhur, sama saja. Hanya karena di Indonesia itu dahulu dari pohon yang namanya taru menyan, makanya disebutnya di sini kemenyan," kata dia.
Gus Muwafiq melanjutkan manusia pertama kali memang mengetahui ada makhluk di luar dirinya.
"Nabi Adam tahu ada jin, Nabi Adam tahu ada malaikat, Nabi Adam tahu kebiasaan iblis dan tahu kebiasaan malaikat. Nah, manusia butuh survival untuk hidup di dunia," ujar Gus Muwafiq.
Oleh karena itu, kata Gus Muwafiq, karena manusia memahami adanya kehidupan mahkluk yang berada di dimensi lain yang tidak nampak dan beberapa di antaranya memiliki kekuatan, maka mereka memberi makan dalam bentuk sajen.
Gus Muwafiq mengatakan makanannya berbeda dengan manusia normal agar kehidupan manusia tidak diganggu.
Hal itu karena di zaman nenek moyang saat itu belum ada jaminan keamanan yang secanggih era saat ini.
Dengan demikian, memberi sajen adalah bentuk dari survival manusia menghadapi musuhnya yang berwujud makhluk halus.
"Memang sajen ini adalah makanan untuk makhluk-makluk halus lainnya yang memiliki kekuatan lebih kuat dari manusia, tetapi masih tetap jauh di bawah Allah SWT. Ini bentuk survival nenek moyang kita zaman dahulu. Mereka juga tahu itu, apa mereka pernah kasih makan Allah? Tidak pernah, kan, karena mereka menyadari itu," kata Gus Muwafiq.
Gus Muwafiq menceritakan bahwa ia pernah menangani salah seorang yang menanamkan tombak di tangannya dengan tujuan membantu pekerjaannya di zaman terdahulu.
Hal itu tidak bisa disalahkan, apalagi dicap sebagai praktik bidah maupun musyrik.
Sebab, lagi-lagi itu adalah bagian dari usaha manusia untuk bertahan dalam menjalani kehidupan.
"Suatu ketika saya pernah menangani orang, usianya sudah sekitar 90 tahun, seluruh tubuhnya sudah tidak bisa bergerak, sudah sangat tua, tetapi tangannya ini masih terlihat seperti usia 25," kata dia. Gus Muwafiq lalu mendoakan orang tua itu. Kemudian keluarlah tombak dari tangan orang itu.
"Saya tanya, dahulu apa ini profesinya? Ternyata sopir gerobak yang bagian mengantar logistik antardaerah. Zaman segitu, berapa, sih, kekuatan sapi? Kalau dirampok juga dia tidak bisa lari, kan?" kata dia.
Oleh karena itu, orang tua itu mencari kekuatan agar memiliki kekuatan. Apabila ketemu penjahat di jalan tidak pingsan ketika dipukul atau ketika roda pedati masuk ke lumpur bisa diangkat dengan tangan.
"Bagi orang yang tidak pernah menangani seperti ini, gampang saja dia sebut musyrik, bidah, karena mereka tidak bertanggung jawab dengan situasi seperti ini. Harusnya ditanya, dong. Akan tetapi, kalau cuma orang pengecut asal bilang bidah, musyrik," tutur Gus Muwafiq.
Oleh karena itu, Gus Muwafiq menilai susuk seperti contoh menanam tombak tadi merupakan bentuk survive manusia zaman dulu. Dia menilai hal itu sama seperti imunisasi campak dan Covid-19.
"Manusia memang yang terbaik, tetapi butuh perlindungan, dan itu, kan, imunisasi zaman kuno memasukkan tombak, susuk, dan lain-lain. Cara memasukkannya pakai doa, yang ini (corona, campak, dll) pakai suntikan. Kan, begitu saja sebenarnya, ada dinamika yang berubah dan ini tidak bisa dijustifikasi. Sebab, ini terkait ruang dan waktu. Biarkan saja asal semua jangan saling ganggu," lanjut Gus Muwafiq.
Gus Muwafiq mengajak masyarakat Indonesia, terkhusus umat muslim untuk saling menghormati, mempelajari, berdialog, dan tidak bertindak hanya dengan emosi semata.
Gus Muwafiq mengatakan untuk memasukkan nilai-nilai yang dianggap sebuah kebenaran membutuhkan kesabaran.
Praktik yang cenderung emosional seperti membuang sesajen dan mengafir-ngafirkan suatu kelompok yang masih menjalankan tradisi sajen dan sejenisnya adalah tindakan yang tidak tepat. [Democrazy/pop]