DEMOCRAZY.ID - Filsuf Rocky Gerung prihatin dengan keberadaan buzzer yang menyerang secara membabi buta di media sosial.
Menurut Rcky Gerung, buzzer sebetulnya tidak ada masalaj, asalkan betul-betul bisa berdebat. Tapi buzzer yang ada saat ini tidak bisa berdebat.
Padahal public discourse (ruang debat publik) itulah yang menghidupkan demokrasi.
“Buzzer kayak speaker rusak. Satu arah dan hanya ingin mengepung, bukan ingin membangun narasi,” kata Rocky Gerung saat berbincang dengan jurnalis senior Hazairin Sitepu (Bang HS) di Graha Penda Bogor, Minggu (29/5/2022).
Rocky menyebut buzzer adalah thing, barang, bukan orang. Yang namanya benda, baik atau buruk tetap saja benda.
“Buzzer harus kita anggap sebagai benda. Karena dia bisa dipindah-pindahkan tanpa bisa melawan. Benda itu kan fungsinya adalah stagnan. Statis. Kalau manusia, dinamis. Kan tidak mungkin barang punya otak,” jelas Rocky.
Dijelaskan Rocky, buzzer merupakan pendengung yang berupaya untuk mempengaruhi kebijakan. Mereka berupaya untuk menundukkan suara oposisi.
“Buzzer saat ini tidak ada grammar yang bisa kita pahami. Hanya merusak suasana bernegara. Kalau buzzernya mau lawan debat, ya, datang saja berdebat. Tapi ini buzzernya anonym. Menyerbu kayak lalat yang mengejar bangkai. Jadi, bukan sekadar memuakkan, tapi menjijikkan,” kata Rocky.
“Dan justru itu dipelihara Istana. Kalau dia tidak dipelihara Istana, sudah lama dia collapse,” tambah Rocky.
Pengamat politik ini menilai keberadaan buzzer semacam ini merupakan masalah besar, terutama menjelang Pemilu 2024.
“Ini akan jadi soal besar. Bukan hanya ke 2024. Tapi untuk satu semester ke depan,” beber Rocky.
Buzzer, kata Rocky, disewa hanya untuk mengacaukan politik.
Mereka disewa untuk meniupkan rasialisme, untuk menghujat secara track record orang yang sebetulnya tidak ada hubungannya.
“Tiba-tiba orang diisukan moral, seksual, segala macam. Padahal itu hanya untuk membunuh karakter,” katanya.
Menurut Rocky, seharusnya buzzer itu bertarung dengan ide. Misalnya ide tentang lingkungan bersih. Mestinya buzzer mampu bertanding dengan isu-isu ke depan.
“Tapi karena jarak antara cara berpikir dengan cara berjalan dekat sekali. Maksudnya, cara berpikir (otak) dekat dengan dengkul, gitu. Dia (buzzer) tidak bisa bikin proyeksi,” katanya.
Rocky kembali menegaskan bahwa tidak ada soal orang jadi buzzer, asalkan bermutu.
“Supaya ada dialektika di dalam mempersoalkan kehidupan bersama,” tandas Rocky Gerung. [Democrazy/pojok]