DEMOCRAZY.ID - Kepergian Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 KH Ahmad Syafii Maarif pada Jumat (27/5/2022) meninggalkan duka mendalam bagi bangsa.
Ucapan belasungkawa dan doa mengalir deras dari keluarga, sahabat, kolega, para tokoh dan masyarakat luas.
Rasa kehilangan itu tidak saja terungkap di rumah duka dan sepanjang prosesi pemakaman, namun juga menghiasi berbagai platform media sosial.
Salah satu yang turut menyampaikan duka cita itu yakni Staf Khusus Presiden Jokowi, Diaz Hendropriyono.
Melalui unggahan di akun Istagram, Diaz mengisahkan kenangan terhadap Buya Syafii Maarif.
Dia juga mengungkap tentang momen ayahnya, Jenderal TNI (Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono, pernah diuji Buya Syafii.
“Indonesia berduka! Kita baru saja kehilangan seorang tokoh kebangsaan dan kemanusiaan. Kebetulan beliau juga adalah salah satu penguji disertasi ayah saya di UGM pada tahun 2009 yang lalu,” kata Diaz, dikutip Sabtu (28/5/2022).
Dalam unggahannya itu Diaz membagikan momen dirinya sowan Buya Syafii Maarif di kediamannya, Jogjakarta.
Diaz terlihat mengenakan busana batik lengan panjang, sementara Buya tampak bersahaja dengan kemeja biru muda polos dipadu celana bahan abu-abu, serta mengenakan peci hitam.
“Selamat jalan pak guru,” tutur Diaz, berduka.
Menguji Hendropriyono
Cerita yang diungkap Diaz dalam status instagram tersebut terjadi pada 25 Juli 2009.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono mengikuti ujian terbuka Program Doktor Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta di Ruang Seminar Sekolah Pascasarjana lantai V.
Bertindak sebagai promotor dalam ujian tersebut adalah Prof Kaelan, Prof Lasiyo, dan Prof Djoko Suryo.
Adapun selaku penguji yaitu Prof Dr R Soejadi, Prof Dr Syamsulhadi, Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, Prof Koento Wibisono, dan Prof Mukhtasar Syamsuddin.
Dalam disertasi setebal 400 halaman, Hendropriyono mengupas masalah terorisme yang terjadi di Indonesia dan dunia yang dikaji melalui pendekatan analitik bahasa. '
'Saya melakukan kajian dari filsafat bahasa. Bagaimana orang (teroris) itu ngomong, dari situ saya kita tahu apa yang dipikirkannya,'' kata Hendro, dikutip dari situs laman resmi UGM, Sabtu (28/5/2022).
Disaksikan sejumlah tamu undangan, termasuk sejumlah menteri, Hendro sangat percaya diri mengikuti ujian terbuka tersebut. Terlihat tokoh intelijen itu begitu rileks.
Hal ini wajar mengingat sebagian besar kariernya bergulat dengan banyak hal yang mengancam keutuhan negara, salah satunya tindak pidana terorisme.
Tak mengherankan pula, alumnus Akademi Militer 1967 itu ringkas menjawab pertanyaan Buya Syafii Maarif.
Cendekiawan muslim itu meminta Hendro menjelaskan tentang persepsi orang yang mengaitkan terorisme dengan Islam.
”Tolong jawab dengan singkat,” ujar Buya Syafii, dikutip dari tulisan berjudul Hendropriyono, Sang Doktor Filsafat.
”Singkatnya, mereka tidak paham Islam,” kata Hendra.
Jawaban lugas ini pun disambut tepuk tangan membahana para tamu yang menyaksikan ujian tersebut.
Begitu applaus mereda, Hendro menjawab panjang lebar pertanyaan Buya Syafii.
Ujian terbuka program S3 itu berlangsung lancar. Hendro akhirnya mengukir sejarah baru dalam rekam jejak akademiknya.
Pria kelahiran Jogjakarta yang juga pernah menjabat menteri transmigrasi dan pemukiman perambah hutan itu lulus dengan pencapaian top.
"Dengan ini, tim penguji memutuskan Saudara Hendropriyono berhasil memeroleh gelar doktor dengan predikat cumlaude," kata Ketua Tim Penguji Mukhtasar.
Berdasarkan keterangan UGM, dalam disertasinya Hendropriyono menyebutkan bahwa terorisme adalah suatu fenomena sosial yang sulit untuk dimengerti, bahkan oleh para teroris sendiri.
Tanpa pendidikan yang memadai pun, sesorang dapat melakukan aksi terorisme yang menggetarkan dunia dan berimplikasi sangat luas.
Menurutnya, taktik dan teknik teroris terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan strateginya berkembang seiring dengan keyakinan ontologis atas ideologi atau filsafat yang menjadi motifnya.
Terorisme, kata dia, menggunakan cara-cara, ungkapan-ungkapan, dan bahasa sendiri dalam perjuangan mewujudkan tujuannya.
Lebih jauh, Hendro menjelaskan bahwa para teroris menggunakan pembenaran epistemologis sendiri dan menafsirkan ideologi-ideologi serta ungkapan kebenaran dengan cara melakukan manipulasi makna.
“Manipulasi ungkapan bahasa kebenaran tersebut kerap kali bersumber dari kaidah-kaidah agama, yang ditafsirkan dan dimanipulasikan dengan ungkapan bahasa. Hal tersebut dijadikan dasar pembenaran bagi segala tindakannya yang revolusioner dan dramatis,” ucapnya. [Democrazy/sindo]