DEMOCRAZY.ID - KPK bicara panjang lebar mengenai korupsi adalah musuh bersama hingga putusan yang mempertimbangkan rasa keadilan ketika mengomentari soal vonis Edhy Prabowo yang disunat Mahkamah Agung (MA).
Padahal, vonis mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu kini sama dengan apa yang menjadi tuntutan KPK.
Seperti diketahui bila Edhy Prabowo ditangkap KPK dengan sangkaan menerima suap terkait ekspor benih bening lobster atau benur.
Singkatnya Edhy Prabowo diadili dan dituntut jaksa KPK untuk dihukum selama 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Edhy Prabowo diyakini jaksa terbukti menerima uang suap yang totalnya mencapai Rp 25,7 miliar dari pengusaha eksportir benur.
"Menuntut agar majelis hakim dapat memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 5 tahun dan pidana denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar jaksa KPK Ronald Worotikan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Selasa (29/6/2021).
Kemudian hakim menjatuhkan vonis sesuai dengan tuntutan jaksa yakni 5 tahun penjara.
Di tingkat banding hukuman Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara.
Dan kemarin Rabu (9/3/2022), Mahkamah Agung (MA) mengurangi 4 tahun vonis Edhy Prabowo dari Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta itu.
Edhy Prabowo kembali dihukum 5 tahun penjara sesuai dengan tuntutan dan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta.
Respons KPK
Atas pengurangan vonis MA itu, KPK telah memberi respons.
KPK menilai putusan majelis hakim itu tidak mempertimbangkan harkat pemberantasan korupsi.
"Oleh karenanya, putusan majelis hakim seyogianya juga mempertimbangkan hakikat pemberantasan korupsi sebagai extraordinary crime," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis (10/3/2022).
Ali mengatakan korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus diberantas dengan cara yang luar biasa juga. Tentu, kata Ali, bisa melalui putusan hakim yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
"Korupsi sebagai musuh bersama dan kejahatan luar biasa maka cara-cara pemberantasannya pun dilakukan dengan cara yang luar biasa. Satu di antaranya tentu bisa melalui putusan yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat," kata Ali.
Tak hanya itu, sebut Ali, putusan hakim juga harus memberikan efek jera kepada koruptor untuk mencegah kejadian serupa terulang.
Efek jera itu, lanjut Ali, bisa berupa besarnya pidana badan, pidana tambahan, atau pencabutan hak politik.
"Dan juga mampu memberi efek jera untuk mencegah perbuatan serupa kembali terulang, karena pemberian efek jera merupakan salah satu esensi penegakan hukum tindak pidana korupsi, yang bisa berupa besarnya putusan pidana pokok atau badan, serta pidana tambahan seperti uang pengganti ataupun pencabutan hak politik," ujarnya. [Democrazy/detik]