DEMOCRAZY.ID - Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, mengkritik wacana penundaan Pemilu 2024 dengan alasan salah satunya besarnya anggaran yang dibutuhkan.
Menurutnya, saat ini pemerintah tidak mengalami defisit anggaran, apalagi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang membutuhkan dana besar tetap berlangsung.
"Toh, pemerintah juga tidak sedang kesulitan anggaran. Buktinya proyeksi pembangunan IKN yang anggarannya lebih besar pun tetap jalan," kata La Nyalla dalam keterangan resmi, Minggu (6/3).
La Nyalla memaklumi mahalnya biaya penyelenggaraan Pemilu karena Indonesia mengadopsi model demokrasi barat yang identik dengan Pemilu secara langsung.
Sebelumnya, Indonesia menganut model demokrasi Pancasila dengan mekanisme perwakilan.
"Sudah konsekuensi bagi negara ini dengan Pemilu yang berbiaya mahal. Karena kita meniru sistem presidensial dengan pola demokrasi barat di mana semua dilakukan melalui pemilihan langsung," ujarnya.
"Tapi itu justru kita tinggalkan (demokrasi Pancasila), sejak amandemen 20 tahun lalu. Ya inilah konsekuensinya, demokrasi berbiaya tinggi demi mengikuti demokrasi prosedural," lanjut dia.
Begitu pula dengan alasan penundaan Pemilu karena pandemi COVID-19.
Ia menilai alasan itu tidak masuk akal, terlebih Pilkada Serentak 2020 pernah dilaksanakan di saat angka positif COVID-19 sedang tinggi.
"Kami di DPD RI saat itu sempat mengundang KPU, Bawaslu dan Mendagri, kenapa Pilkada dipaksa tetap jalan. Saat itu dijelaskan bahwa sudah dilakukan simulasi protokol kesehatan. Makanya kalau sekarang pandemi dijadikan alasan menunda Pemilu, saya pikir tidak masuk akal," ungkap La Nyalla.
Lebih lanjut, La Nyalla meminta para elite politik berhenti membuat gaduh dengan wacana penundaan Pemilu.
Ia mendorong mereka fokus memikirkan masalah bangsa yang lebih krusial dan perlu diselesaikan saat ini.
"Rakyat di bawah semakin susah. Harga bahan pokok naik, elpiji dan BBM naik. Jeritan rakyat ini yang harus dipikirkan oleh elite politik," tutur dia.
"Jadi jangan kita mencari-cari celah untuk menunda Pemilu, yang kemudian memperpanjang masa jabatan Presiden yang pada akhirnya inkonstitusional," tandasnya. [Democrazy/kmp]