DEMOCRAZY.ID - Pakar hukum tata negara Refly Harun menyebut Presiden Joko Widodo sering bermain dua kaki dalam berbagai persoalan yang terjadi.
Padahal, selaku orang nomor satu di Indonesia, harusnya menunjukkan ketegasan bukan lembek bila dihadapkan pada berbagai persoalan dan kepentingan.
Hal itu disampaikan Refly untuk menanggapi Surat Terbuka yang dilayangkan Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana kepada Jokowi sebagai bentuk kritik atas pembiaran berkembangnya isu pembatalan pemilu 2024.
Dalam surat terbuka tersebut, Denny menegaskan bahwa pernyataan Jokowi yang membolehkan setiap orang untuk berwacana soal pembatalan pemilu awalnya memang terkesan normal dan benar.
Tapi, jika ditelisik lebih dalam, maka pernyataan itu mengandung banyak kesalahan mendasar.
“Penundaan pemilu—yang secara konsep ketatanegaraan lebih tepat merupakan pembatalan—adalah persoalan yang harus disikapi dengan lebih jelas dan tegas. Tidak boleh medua. Jangan abu-abu. Ini persoalan hitam-putih menjalankan konstitusi bernegara,” tulis Denny Indrayana dikutip dari integritulawfirm.id pada Senin 7 Maret 2022.
Padahal, kata Denny, pembatalan Pemilu 2024 adalah sikap yang terang benderang menabrak UUD 1945. Bukan hanya satu tapi banyak pasal yang dilanggar.
“Di antaranya adalah soal Indonesia negara hukum, Pasal 1 ayat (3). Menghilangkan pemilu menyebabkan Indonesia lebih mengedepankan negara berdasarkan nafsu kekuasaan belaka (machtstaat), dan jauh menyimpang dari hukum (rechstaat),” sambung Denny.
Merespon Surat Terbuka itu, Refly Harun menganggap bahwa Presiden Jokowi memang sering membuat pernyataan yang bermakna ganda, bahkan terkesan bermain ‘dua kaki’.
“Ya memang itulah Presiden Jokowi bermain di dua kaki yah, sama seperti ketika wacana tiga periode main dua kaki juga dia,” ujar Refly Harun melalui YouTube pribadinya.
Menurut Refly, setidaknya kita harus membedakan antara sikap pribadi dan sebuah koridor konstitusi.
“Tentu Presiden Jokowi tidak bisa melarang orang untuk beraspirasi, tapi dirinya sendiri bisa mengatakan ‘saya presiden republik Indonesia tidak setuju dengan tiga periode, tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan’, kan begitu selesai,” kata Refly.
Refly menerangkan konsep dasar dalam negara yang mengedepankan ‘Rule of Law’ bukan ‘Rule by Law’.
Dengan memahami keduanya, maka secara terang kita dapat memahami bahwa di balik konstitusi, terdapat konstitusionalisme yang pada hakikatnya untuk membatasi kekuasaan, bukan konstitusi untuk kekuasaan.
“Jadi kita tidak boleh pisahkan antara konstitusi dan konstitusionalisme. Jadi jangan sampai ada konstitusi without konstitusionalisme,” terang Refly. [Democrazy/terkini]