DEMOCRAZY.ID - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Nusa Cendana, Johanes Tuba Helan menilai para petinggi partai politik yang mengusulkan penundaan Pemilu 2024 tak memahami UUD 1945.
Johanes bereaksi keras usai munculnya wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan presiden yang diusulkan PKB, PAN dan Golkar.
Dia mengaku heran, jangan-jangan jajaran ketum parpol pengusul penundaan pemilu belum hatam membaca Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Sebab, pemahaman akan konsekuensi negara merupakan entitas dasar politikus maupun pejabat negara dan pemerintahan.
Dengan demikian, lanjut Johanes, secara terang-terangan pemahaman mereka terhadap konstitusi negara amat diragukan.
"Pihak yang mengemukakan wacana penundaan Pemilu, mungkin tidak pernah membaca UUD 1945, sehingga boleh berbicara sesuka hati," tutur Johanes, Selasa, 8 Maret 2022.
Usulan penundaan pemilu ketiga parpol, menurut Johanes, sangat tidak berdasar, bahkan terkesan belum memenuhi standar darurat.
"Penundaan pemilu hanya mungkin dilakukan jika negara dalam keadaan darurat, tetapi Indonesia sekarang ini dalam keadaan baik-baik saja," ujarnya.
Dijelaskan, pada Pasal 22 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Sedangkan mengenai masa jabatan presiden sepenuhnya telah diatur dalam Pasal 7 UUD 1945. Terteta dalam aturannya, presiden hanya boleh menjabat selama dua periode.
Jadi tidak ada alasan yang dapat dibenarkan manakala penundaan pemilu dipaksa harus diwujudkan.
"Maka bila masa jabatan habis di tahun 2024 harus diganti melalui pemilu, sehingga tidak ada ruang memperpanjang masa jabatan di luar mekanisme pemilu," tandasnya. [Democrazy/hops]