DEMOCRAZY.ID - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis berharap agar penceramah yang mengkritik pemerintah dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar alias mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan malah dicap radikal.
Hal itu disampaikan merespons kriteria penceramah radikal yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPT) baru-baru ini.
"Tapi jangan sampai yang amar ma'ruf dan nahi munkar karena mengkritik pemerintah lalu disebut radikal," kata dia, dalam akun media sosial Twitter resminya @cholilnafis, Senin (7/3).
Meski demikian, ia memastikan MUI tegas menolak penceramah yang membangkang terhadap negara.
Terlebih lagi penceramah tersebut anti terhadap ideologi negara Pancasila.
"Ya. Kita tak suka penceramah yg membangkang negara dan anti Pancasila yang itu pasti melanggar hukum Islam dan hukum nasional kita," tambahnya.
Ya. Kita tak suka penceramah yg membangkang negara dan anti pancasila yg itu pasti melanggar hukum Islam dan hukum nasional kita tapi jangan sampai yg amar ma’ruf dan nabi munkar krn mengkritik pemerintah lalu disebut radikal. https://t.co/tSpyCMrk3Q pic.twitter.com/dJtsDA6zuP
— cholil nafis (@cholilnafis) March 7, 2022
Seperti informasi, BNPT melalui direktur pencegahannya, Ahmad Nurwakhid menerbitkan sejumlah ciri penceramah radikal.
Langkah itu dilakukan setelah Presiden Joko Widodo menyindir keberadaan pendakwah radikal pada Rapat Pimpinan TNI-Polri.
Ahmad menyampaikan beberapa ciri penceramah radikal yakni antipemerintah.
Lalu, penceramah itu selalu menyebarkan kebencian dan fitnah terhadap pemerintahan yang sah.
Para pendakwah radikal juga disebut BNPT selalu menyebarkan paham khilafah dan menanamkan paham antipancasila.
BNPT juga menyebut penceramah Radikal mengajarkan paham takfiri atau mengafirkan pihak yang berbeda paham ataupun agama.
Para penceramah itu pun memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungannya.
Penceramah radikal juga bersikap intoleran terhadap perbedaan. Bahkan, mereka anti terhadap budaya dan kearifan lokal keagamaan. [Democrazy/cnn]