DEMOCRAZY.ID - Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan membantah lima kriteria atau ciri penceramah radikal yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) beberapa waktu lalu.
Pertama, Amirsyah mengkritik BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.
"Kriteria pertama ini blunder karena tidak paham pada ajaran Islam seperti Khilafah," kata Amirsyah dalam keterangan resminya, Selasa (8/3).
Amirsyah lantas menyinggung Ijtima Ulama Komisi Fatwa tahun 2021 memberikan rekomendasi kepada masyarakat dan pemerintah agar memahami Jihad dan Khilafah tidak dipandang negatif.
Sebab, forum itu menegaskan nilai-nilai kesungguhan (Jihad) dan kepemimpinan (Khilafah) adalah ajaran Islam untuk mengatasi problem umat dan bangsa.
Sebaliknya, Amirsyah justru membandingkan banyak ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, seperti Komunisme tidak pernah dijelaskan negara secara jujur.
Begitu juga paham kapitalisme, liberal yang diterapkan saat ini justru menyebabkan ekonomi rakyat terpuruk.
"Karena tambang dikuasai para oligarki tidak pernah disebut bertentangan dengan Pancasila," kata dia.
Kedua, Amirsyah turut mengkritik BNPT menyebut penceramah radikal mengajarkan paham takfiri atau kerap mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ia lantas meminta BNPT tak salah paham soal paham dalam Islam. Semua yang beragama lain atau non Islam disebut kafir.
Istilah bila memerangi umat Islam disebut kafir Harbi. Lalu, jika berdampingan hidup damai dengan umat Islam disebut Kafir Dzimmi.
"Selama ini tidak ada masalah karena secara internum bagi umat Islam. Contoh keyakinan yang menyimpang dari akidah Islam seperti penganut Ahmadiyah, memang terkategori kafir karena telah mengimani ada Nabi lagi setelah Muhammad Saw dan mengimani kitab lain setelah Alquran," kata Amirsyah.
Ketiga, Amirsyah turut mengkritisi kriteria penceramah radikal punya sikap anti pemimpin atau pemerintah yang sah dengan sikap membenci dengan menyebar hoaks dan fitnah.
Ia lantas mengimbau agar para pendengung atau buzzer yang menyebarluaskan fitnah, adu domba juga harus di berikan sanksi tegas oleh pemerintah.
"MUI selama ini bermitra dengan pemerintah karena itu kebijakan pemerintah yang benar didukung, sebaliknya jika ada kebijakan yg menyimpang berdasarkan konstitusi, agar berbangsa dan bernegara kembali ke jalan yang benar," kata dia.
Keempat, Amirsyah turut mengkritik BNPT menyebut penceramah radikal memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman.
Secara proporsional, lanjut dia, sikap tersebut tidak ada masalah terkait ibadah. Umat Islam memang eksklusif karena tidak mau mencampuri ibadah agama lain seperti surat Al-Kafirun.
Terakhir, Amirsyah juga menepis BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang memiliki pandangan anti budaya atau anti kearifan lokal keagamaan.
Baginya, Islam menghargai budaya lokal. Namun kerap kali budaya itu berimplikasi pada kekufuran. Contohnya seperti mengorbankan hewan untuk sesembahan yang dipastikan diharamkan.
"Kalau budaya itu sejalan dengan Islam, seperti dakwah yang di kembangkan para wali Songo terbukti penyebaran Islam dengan menggunakan kearifan lokal," kata dia.
"BNPT sebaiknya tidak mencampuri soal Agama yang bukan domainnya, karena bisa salah paham atau gagal paham yang yang digunakan untuk tuding-menuding radikal," tambahnya. [Democrazy/cnn]