DEMOCRAZY.ID - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan lima ciri-ciri penceramah radikal. Salah satunya adalah mengkafirkan non muslim.
Menanggapi itu, ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat, Buya Gusrizal atau Buya Dt Palimo Basa mengatakan, jika mengkafirkan agama non muslim merupakan ciri penceramah radikal, maka BNPT telah merusak ajara tauhid dalam Islam.
"BNPT telah merusak ajaran agama khususnya ajaran Islam yang sangat mendasar yaitu ajaran Tauhid," Buya Gusrizal dikutip dari akun Facebook resminya, Buya Gusrizal Rabu 9 Maret 2022.
Buya Gusrizal mengatakan, kalimat Lâ Ilâha Illalláh" merupakan pernyataan pengakuan atas keyakinan di dalam qalbu bahwa satu-satunya Ilâh yang berhak disembah adalah Allah swt.
Konsekuensi dari keyakinan tersebut adalah kufurnya setiap keyakinan yang menentang ajaran tauhid tersebut.
Kata dia, penganut kekufuran itu adalah kâfir dalam istilah Al-Qur'ân dan Sunnah Nabi saw.
"Dengan demikian, saya minta BNPT menjawab, dari mana datangnya tuduhan radikal terhadap da'i yang mengatakan orang berbeda agama adalah kâfir?" ujarnya.
"Apakah menurut BNPT, da'i yang tidak radikal itu adalah yang mengakui semua agama benar?" sambung dia.
Dia mengatakan, apa yang sampaikan BNPT telah merusak ajaran Islam
"Saya berharap agar seluruh tokoh umat Islam waspada dengan langkah seperti itu karena, bila itu misi BNPT berarti suatu institusi negara telah menempatkan diri sebagai pembawa kesesatan ke tengah umat," tuturnya.
Sebelumnya, Direktur BNPT Brigjen Ahmad Nurwakhid mengungkapkan lima indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sosok penceramah radikal.
Kelima indikator yang dimaksud, pertama, penceramah mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.
Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks.
Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).
Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan. [Democrazy/FIN]