AGAMA

Kecam Pernyataan Pendeta Saifuddin Ibrahim Soal Hapus 300 Ayat Al Qur'an, Wagub Jabar: Jangan Hina Kitab Suci Kami!

DEMOCRAZY.ID
Maret 16, 2022
0 Komentar
Beranda
AGAMA
Kecam Pernyataan Pendeta Saifuddin Ibrahim Soal Hapus 300 Ayat Al Qur'an, Wagub Jabar: Jangan Hina Kitab Suci Kami!

Kecam Pernyataan Pendeta Saifuddin Ibrahim Soal Hapus 300 Ayat Al Qur'an, Wagub Jabar: Jangan Hina Kitab Suci Kami!

DEMOCRAZY.ID - Panglima Santri Jawa Barat (Jabar) Uu Ruzhanul Ulum mengecam pernyataan Pendeta Saifuddin Ibrahim soal permintaan penghapusan 300 ayat dalam Al Qur'an karena dianggap mengandung ajaran radikal. 


Uu yang juga merupakan Wakil Gubernur Jawa Barat itu menyebut, pernyataan Saifuddin soal pondok pesantren yang disebut sebagai penghasil produk-produk radikal juga tidak tepat dan melukai perasaan umat Islam. 


Uu mengungkapkan, radikalisme merupakan tindakan memaksakan pandangan maupun kehendak yang dilakukan oleh individu maupun kelompok tertentu, bahkan dengan menghalalkan segala cara. 


Untuk itu, ia mengatakan sangat tidak tepat jika menyandingkan ponpes sebagai bentuk tindakan radikal.


“Yang dinamakan radikal itu seseorang ataupun kelompok yang memaksakan kehendak maupun keinginan, yang bertentangan dengan agama. Menghalalkan segala cara, yang penting mereka berhasil tujuannya,” ujar Uu kepada awak media di Kabupaten Indramayu, Selasa, 15 Maret 2022 kemarin. 


“Saya sebagai kelompok pesantren, tersinggung dan tidak terima pesantren disebut produk orang radikal. Justru produk pesantren adalah orang-orang yang berjasa terhadap bangsa dan negara, terutama dalam implementasi Pancasila,” tegasnya.


Uu juga sangat tidak setuju dengan pernyataan Saifuddin terkait 300 ayat Al Qur’an yang harus dihapus atau direvisi karena mengandung nilai-nilai radikalisme. 


Menurutnya, umat muslim tidak memiliki kebebasan untuk menafsirkan sendiri ayat-ayat Al Qur’an.


“Umat Islam saja tidak diberi kebebasan untuk menafsirkan sendiri, apalagi non muslim seperti pendeta,” tegasnya.


Untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, kata Uu, tidak cukup dengan tekstual saja, namun juga konteksnya harus dipahami dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 


Para ulama juga minimal harus paham 12 fan (bidang ilmu) agama Islam, yang membutuhkan waktu sedikitnya 12 tahun dalam mendalami dan memahaminya.


“Untuk mempelajari 12 fan ilmu Islam itu di pesantren, saya butuh 12 tahun. Dan selama 12 tahun itu tidak bisa dengan mandiri, harus ada sampingan ilmu yang lain,” ungkap Uu. 


“Karena Al Qur'an adalah kitab suci yang sangat luar biasa, jadi orang yang menafsirkannya pun jangan orang yang biasa-biasa, harus orang yang luar biasa (ilmu agamanya),” imbuhnya.


Uu berharap agar masyarakat di Jabar tidak terprovokasi pemberitaan di media terkait hal tersebut. 


Masyarakat, kata dia, juga diminta lebih kritis lagi dalam menerima informasi dan tidak mudah percaya pada penjelasan pendeta Saifuddin yang dinilainya sudah menyakiti kaum muslimin.


“Tolong jangan menghina kitab suci kami, karena ini akan membuat luka hati umat mayoritas. Umat yang baik adalah umat yang menjaga agamanya sendiri. Menjaga agama sendiri bukan berarti harus menyerang agama yang lain,” tegas Uu.


“Saya harap masyarakat jangan terjebak dengan statement itu, atau terkecoh dan mengiyakan apa yang disampaikan oleh pendeta tersebut. Kita tetap saja sebagai umat Islam, pegang apa yang disampaikan oleh para kiai dan ulama,” pungkasnya. [Democrazy/fin]

Penulis blog