DEMOCRAZY.ID - Tewasnya seorang dokter di Sukoharjo, Jawa Tengah, di tangan Densus 88 dinilai sebagai bentuk extra judicial killing (pembunuhan di luar proses hukum).
Sebelumnya, pada Rabu malam (09/03/2022), dokter Sunardi tewas saat penangkapan oleh Densus 88.
Dokter Sunardi dituduh sebagai bagian dari terorisme.
Polisi mengklaim tindakan pendembakan itu merupakan tindakan tegas dan terukur di lapangan.
“Kasus ini menambah panjang daftar terduga teroris yang tewas saat penangkapan, dan masuk kategori ekstra judicial killing,” ungkap Direktur CIIA, Harits Abu Ulya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/03/2022).
Harits menambahkan, dalam sepuluh tahun terakhir lebih dari 150-an orang tewas di tangan Densus 88 dengan kategori extra judicial killing.
Pengamat terorisme itu menegaskan, sesuai amanat UU, penanganan kasus terorisme adalah ditangkap, dilumpuhkan dan dibawa ke meja pengadilan.
Biarkan pengadilan yang memutuskan hukuman terbaik atas setiap tindak pidana seseorang.
“Kalau baru terduga tapi sudah tewas, bagaimana konsistensi terhadap criminal justice system?” tanya dia.
Harits menilai, kasus yang berulang seperti ini mengisyaratkan ada persoalan pada kredibilitas, profesionalitas dan kontrol atas aparat di lapangan.
Ia mengaku mengaku sepakat atas usulan tiap anggota densus saat operasi penindakan dilengkapi kamera melekat di setiap personelnya.
Agar setiap langkah dan tindakan yang dinyatakan tegas dan terukur itu bisa dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Dan secara internal atau oleh tim pengawas bisa dilakukan evaluasi demi perbaikan ke depannya.
“Jangan lupa, tindakan kekerasan oleh aparat kepada para terduga berpotensi menjadi triger di kemudian hari lahirnya aksi-aksi kekerasan dengan target aparat kepolisian karena sebab dendam,” kata dia.
Menurut Harits, terorisme harus di berantas, tapi tidak boleh mengabaikan hak-hak dasar setiap manusia.
Terkait klaim kepolisian bahwa pada saat penangkapan terjadi perlawanan dari terduga teroris, menurut Harits hal itu menjadi nihil pembanding dan sulit dibuktikan kebenarannya.
Kecuali, lanjut dia, yang tewas dihidupkan lagi dan diberi kesempatan memberikan kesaksian apakah benar klaim dari pihak aparat tersebut.
“Atau ada saksi di luar aparat yang menyaksikan peristiwa penangkapan tersebut di TKP, dan ini juga tidak mudah untuk menghadirkan. Belajar dari kasus Siyono (Klaten) dan “Siyono-Siyono” lainnya, keluarga terduga yang tewas ketika menuntut keadilan seringkali terantuk jalan buntu,” ungkap dia.
Harits mengaku kawatir, masyarakat akan menilai seolah label “teroris” atau “terduga teroris” atau “terkait terorisme” adalah “sertifikat halal” bagi aparat untuk memperlakukan seseorang dengan tindakan apapun.
“Jika ini terjadi maka sangat memprihatinkan,” pungkasnya. [Democrazy/suaraislam]