DEMOCRAZY.ID - Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) menampik peran Suharto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 dihilangkan dari sejarah.
Menurutnya, Soeharto disebut 48 kali di naskah akademik Keputuan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara (HPKN)
Hal ini disampaikan sejarawan UGM sekaligus penulis naskah akademik Keppres tersebut, Sri Margana, saat bicara di diskusi daring ‘Memahami Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang HPKN, gelaran Pemda DIY, Senin (7/3).
Margana menjelaskan, penegakan kedaulatan Indonesia yang dimaksud di Keppres itu mengacu pada serangkaian peristiwa penting dan bukan kejadian tunggal, yakni setelah Proklamasi 1945 hingga Desember 1949
“Dari semua peristiwa itu, Serangan Umum 1 Maret dipilih menjadi momentumnya dan dijadikan penanda. Sebenarnya tidak hanya (peristiwa) ini, tapi semua daya upaya sampai kembalinya kedaulatan kita,” kata Margana.
Margana menyatakan, Sultan HB IX menginisiasi Serangan Umum dan memanggil Letkol Suharto untuk bertemu dan membahas serangan itu.
"Sultan HB IX juga memerintahkan Soeharto untuk meminta agar Panglima Besar Soedirman kembali ke Yogya, karena saat itu ia tak setuju dengan Perundingan Roem Royen yang merugikan Indonesia dan tetap ingin melawan,” tuturnya.
Oleh HB IX, Soeharto kemudian ditunjuk untuk memimpin Serangan Umum 1 Maret. Margana menegaskan, serangan ini meibatkan banyak tokoh.
Ia punua menyebut beberapa tokoh yakni ali Kota Yogya Soedarisman Poerwokusumo yang diminta mengondisikan kota.
Kolonel Bambang Sugeng yang membuat perintah siasat serangan, hingga Kol Gatot Subroto yang mencegah Belanda di Solo masuk Yogya.
Ada pula Mayor Sardjono dan Letkol Vince Samuel yang berjuang di garis depan berhadap-hadapan dengan Belanda.
Sementara Soeharto saat itu, bersama pasukannya, menyerang dari kawasan Kuncen dan masuk ke Patuk.
“Serangan Umum 1 Maret bukan aksi lone rager, bukan pekerjaan satu orang, tapi melibatkan strategi komplek yang masing-masing unusr berperan. Ini kerja kolektif, sehingga keberhasilan tidak bisa diklaim satu individu,” kata dia.
Margana pun membantah penghilangan peran Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden Kedua RI dengan sapaan Pak Harto itu, di peristiwa Serangan Umum 1 Maret.
“Itu tidak benar. Di naskah akademik kami jelas sekali peran Soeharto sebagai orang yang ditunjuk memimpin serangan itu. Di naskah itu, ada 48 kali Pak Harto disebut untuk menunjukkan pentingnya peran beliau,” katanya.
Margana menjelaskan Keppress bukanlah historiogafi atau sebuah kajian sejarah.
“Kalau mau melihat peran Suharto, lihat sejarahnya. Keppres (HPKN) itu esensinya untuk menetapkan Hari Besar Nasional," katanya. [Democrazy/era]