DEMOCRAZY.ID - Mantan Panglima ABRI, Jenderal (Purn) Benny Moerdani ternyata pernah mengirimkan senjata secara diam-diam kepada pejuang mujahidin Taliban untuk melawan Uni Soviet, tepat 41 tahun silam atau 18 Februari 1981.
Melansir Benny Moerdani yang Belum Terungkap, kisahnya berawal saat pasukan Negeri Beruang Merah tersebut akan menginvasi Afganistan sampai ke telinga aparat intelejen Indonesia.
Hal ini membuat Amerika Serikat, yang sedang terlibat perang dingin dengan Uni Soviet risau.
Indonesia, yang sedang mesra dengan Amerika, lantas memutuskan untuk membantu Afganistan (Pasukan Taliban).
Saat itu, pasukan Taliban yang bersiap melawan Soviet itu bukanlah kelompok biasa.
Mereka sebenarnya milisi yang dilatih oleh Central Intelligence Agency, dinas intelijen Amerika.
Letnan Jenderal Benny Moerdani, yang waktu itu Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan, langsung berangkat ke Islamabad, Pakistan. Di sana, ia bertemu dengan kepala intelijen Pakistan.
Jenderal Kopassus itu didampingi Teddy Rusdy yang merupakan mantan Asisten Perencanaan Umum ABRI sekaligus merangkap Direktur E/Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan BAIS ABRI.
“Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afghanistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afghanistan,” ujarTeddy.
Setelah disepakati, senjata itu lalu diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusumah. Sebelum diterbangkan, nomor seri ribuan senjata AK-41 itu dihilangkan dan dikemas dalam peti-peti berlambang Palang Merah untuk menyamarkannya sebagai bantuan makanan atau obat-obatan.
Teddy sendirilah yang mengantar bantuan persenjataan tersebut. Namun, pesawat yang pembawa senjata itu tidak melewati India yang kala itu sedang pro-Soviet.
Pesawatnya dibelokkan ke laut via Pulau Diego Garcia, Kepulauan Chagos, di Samudra Hindia. Jarak tempuh menjadi lebih jauh yaitu 600 mil.
Di pangkalan militer milik Amerika ini, pesawat mampir mengisi bahan bakar. Teddy melukiskan Diego Gare sebagai pulau yang indah dan nyaman.
"Tapi tempatnya tertutup sekali," ujarnya.
Seluruh aktivitas Teddy dipantau Benny dari Jakarta. Benny juga meminta Teddy terus berkomunikasi dengannya melalu scrambler peralatan komunikasi milik intelijen. Karena operasi ini bersifat rahasia, Benny tak memberi tahu Atase Pertahanan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Pakistan, Kolonel Kavaleri Harjanto.
Pengawasan selama penerbangan diserahkan kepada Kuntara, tentara intelijen yang ditempatkan di Rawalpindi.
Saat pesawat mendarat, intel Pakistan sudah siaga. Mereka membawa sekitar 20 truk. Menjelang pagi, iring-iringan bergerak melalui Attock, Nowshera, Peshawar, melalui lembah Khyber Pass, menuju Afganistan.
Bantuan ini diserahkan kepada pemimpin Taliban di Nangarhar.
Menurut Teddy, dukungan untuk Taliban menunjukkan solidaritas Indonesia kepada mereka yang diinvasi.
Soviet memang membantu Indonesia saat merebut Papua, tapi hubungan itu memburuk setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965.
"Senjata Rusia banyak tergeletak dan Taliban butuh, ya, kami kasih saja," pungkasnya. [Democrazy/tmp]