DEMOCRAZY.ID - GP Anshor membuat penilaian kontroversial terkait dengan kasus penembakan enam anggota Laska Front Pembelas Islam (FPI) Km 50.
Bagi GP Anshor tindakan polisi tidak bisa dianggap sebagai bagian dari kriminilasi.
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat GP Ansor Abdul Rochman menyebut kasus penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) KM 50 tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana karena bagian menegakkan hukum.
Menurutnya penembakan itu dilakukan sebagai tindakan tegas aparat kepolisian.
“Tindakan aparat penegak hukum yang telah berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan standard operating procedure (SOP),” ujar Abdul Rochman dalam keterangannya, Sabtu (19/2/2022)
Namun pernyataan yang disampaikan GP Anshor ini diungkapkan saat sidang masih berjalan.
Hakim belum memutuskan apakah dua polisi yang didakwa itu dinyatakan bersalah atau tidak.
Jangankan putusan, sidang pembacaan tuntutan yang sedianya digelar pada Selasa (15/2/2022) ditunda menjadi 22 Februari 2022 karena dua terdakwa terpapar Covid-19.
Koordinator Tim Kuasa HukumHenry Yosodiningrat menyampaikan kedua kliennya itu terkonfirmasi positif COVID-19 sejak Senin (14/2).
Dokter, sebagaimana tertera pada surat keterangan yang dikeluarkan RS Pondok Indah, menganjurkan terdakwa menjalani isolasi selama 14 hari.
Dalam perkara ini, dua anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya, yakni Ipda MYO dan Briptu FR diproses hukum.
Keduanya disebut didakwa dengan pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dan pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan yang menyebabkan kematian.
Salahkan FPI
Abdul Rochman mengeklaim insiden di KM 50 tidak akan sampai menimbulkan korban jiwa jika anggota ormas FPI taat dan patuh pada aturan hukum.
Justru, kata dia, anggota FPI bersikap tidak kooperatif terhadap aparat penegak hukum yang tengah menjalankan tugas.
Kemudian upaya perebutan senjata api dan penganiayaan terhadap aparat saat bertugas jelas tidak bisa dibenarkan.
"Keberatan terhadap tindakan aparat penegak hukum hanya dapat ditempuh dengan cara damai dan beradab melalui mekanisme dan prosedur hukum,” kata dia.
Menurut Abdul Rochman, pihaknya memandang insiden KM 50 sebagai suatu peristiwa yang memilukan yang seharusnya dapat dihindarkan.
Pihaknya juga berharap agar kasus ini tidak boleh terulang lagi di kemudian hari.
Karena itu ia meminta kasus ini bisa diselesaikan dengan cara jernih dan menghasilkan keadilan hukum yang seadil-adilnya.
“Jangan sampai ada upaya-upaya sekelompok yang ngotot melakukan kriminalisasi dengan target hanya untuk memuaskan hasrat balas dendam. Hukum bukanlah pemuas amarah dan dendam,” tegas Abdul Rochman.
Laporan Komnas HAM
Berbeda dengan GP Anshor, pada 2021 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan aksi penembakan terhadap anggota laskar Front Pembela Islam (FPI), sebagai kejahatan terhadap kemanusian.
Dalam rekomendasi dari hasil pengungkapan peristiwa yang terjadi di jalan tol Jakarta-Cikampek (Japek) Km 50, tersebut, Komnas HAM meminta kepada pemerintah, dan penegak hukum untuk melanjutkan kasus tersebut ke tahap penegakan keadilan, sampai pada pengadilan independen.
“Peristiwa tewasnya laskar FPI, merupakan kategori dari pelanggaran HAM,” begitu kesimpulan Komnas HAM yang dibacakan oleh Komisioner Mohammad Choirul Anam, di Jakarta, Jumat (8/1).
Anam, sekaligus ketua im penyelidikan indenden terkait meninggalnya enam anggota laskar FPI, pada Senin (7/12) itu.
“Komnas HAM merekomendasikan kasus ini harus dilanjutkan ke penegakan hukum, dengan mekanisme pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap, dan penegakan keadilan,” begitu sambung Anam. [Democrazy/rep]