DEMOCRAZY.ID - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sama-sama membantah komentar Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah yang menyebut aturan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di usia 56 merupakan bentuk sayang pemerintah terhadap pekerja.
"Kasih sayang apanya, emangnya pemerintah ngurusin kasih sayang? Enggak ada. Itu retorika yang sedang dibangun oleh Menteri," ujar Said Iqbal, Presiden KSPI, Sabtu (19/2).
Ia mengatakan bahwa jika pemerintah ingin memberikan kontribusi untuk membantu buruh saat hari tua, seharusnya lewat Jaminan Pensiun dan bukan dengan menahan JHT hingga usia 56.
"Bentuk pemulihan pemerintah dalam mem-buffer nanti kalau orang sudah hari tua, itu jaminan pensiun. Sedangkan JHT adalah saat buruh atau peserta BPJS Ketenagakerjaan di-PHK karena dia kehilangan pendapatan," kata Said.
Terkait dengan alasan pemerintah menahan dana JHT hingga usia 56 untuk mencegah lansia miskin, ia mengatakan biaya hidup pekerja lebih besar saat mengalami PHK dan harus menyekolahkan anak-anak mereka yang masih kecil.
"Jadi logika itu enggak masuk akal. Dijadikan lansia banyak yang miskin, butuh JHT, mana lebih dia butuh? Ketika seseorang anaknya masih kecil-kecil atau ketika dia sudah lansia dan anaknya sudah besar." jelas Said.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan penerapan aturan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di usia 56 merupakan bentuk sayang pemerintah terhadap pekerja.
Sebelumnya, Ida mengeluarkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.
Dalam aturan yang merevisi aturan sebelumnya, yakni Permenaker Nomor 19 Tahun 2015, manfaat JHT hanya bisa diklaim oleh peserta saat masuk masa pensiun atau berusia 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
"Itu (Permenaker Nomor 2 Tahun 2022) justru adalah bentuk sayang pemerintah kepada teman-teman pekerja," terang Ida dalam siniar CTD Deddy Corbuzier, Jumat (18/2).
Bukan Perlindungan Buruh
Sepakat dengan Said, Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat menolak ucapan Ida yang menyebut aturan JHT dan pembuatan program pengganti berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai bentuk perlindungan bagi kaum buruh.
"Logika akal sehat mana yang pas untuk bisa memaklumi dari pada si pernyataan Bu Ida tersebut itu. Enggak ada korelasinya, enggak ada hubungannya gitu lho. Justru ketika buruh ter-PHK di tengah jalan, terus mohon maaf saja dia harus menunggu 16 tahun gitu, jika dia berumur 40, dia mikir enggak tuh. Pemerintah mikir enggak? Bahwa serentang waktu 16 tahun dia hidupnya tuh dari mana?" ujar Mirah.
Ia mengatakan bahwa argumen JHT menjadi jaringan pengaman bagi buruh saat hari tua tidak bisa diterima kasih dana tersebut merupakan dana dari tabungan buruh itu sendiri yang seharusnya boleh diambil kapan saja.
"Jadi ketika dia PHK misalnya di umur 40 tahun kemudian baru bisa di umur 56 tahun harus menunggu waktu 16 tahun kurang lebih gitu, apa dasar hukumnya, apa logika akal sehat kita untuk masuk ke arah sana ketika buruh baru bisa ngambil uangnya, karena itu lagi-lagi dananya buruh," sebutnya.
Mirah menjelaskan bahwa JKP sendiri masih memiliki banyak kekurangan.
Persyaratan-persyaratan yang ia nilai membuat pendaftarannya cukup riweuh dan sulit didapat hanya akan mempersulit buruh yang tidak ada bantalan lain selain JHT yang baru bisa cair pada usia 56
"Syarat-syarat ini sudah saya temukan ada temuan-temuan yang saya seminggu ini saya terus menyelidiki. Ternyata belum ada apa-apa, belum di-launching aja sudah kacau balau ini yang namanya JKP," kata Mirah.
Ia berharap pemerintah dapat mengkaji lagi kebijakan yang dibuat dengan melibatkan semua pihak yang terdampak, terutama kaum buruh yang perlu transparansi dan kooperasi dari pemerintah dalam hal jaminan sosial. [Democrazy/cnn]