DEMOCRAZY.ID - Sudah berbulan-bulan minyak goreng langka dan harganya mahal. Indonesia adalah negara produsen sawit terbesar dunia, tapi rakyatnya kesulitan memperoleh minyak goreng.
"Kita tahu memang harga CPO (Crude Palm Oil) dunia sedang mengalami kenaikan. Tapi itu bukan menjadi patokan mengapa harga minyak goreng di dalam negeri kita masih tinggi. Apalagi Indonesia merupakan produsen terbesar bahan dasar minyak goreng. Jadi rakyat bertanya, kenapa harga minyak goreng kok masih mahal?" kata Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, beberapa waktu lalu.
Soal lonjakan harga dan kelangkaan ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) beralasan bahwa Indonesia tak memiliki kendali penuh atas harga walaupun merupakan produsen CPO terbesar dunia.
Harga CPO di dalam negeri tetap mengikuti harga di pasaran internasional.
Sebagian besar produsen minyak goreng di dalam negeri pun tak terintegrasi dengan produsen CPO.
Ketika harga CPO di pasar global meroket, Indonesia tak kebal dari kenaikan harga minyak goreng.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan, mengaku pemerintah selama ini terlalu melepas harga minyak goreng ke mekanisme pasar. Sehingga minyak goreng naik karena mengikuti harga CPO.
“Pemerintah melihat saat ini ada yang tidak benar, dan kami mengakui ternyata minyak goreng kita ada sistem di kebijakan kita yang terlalu melepas mekanisme perdagangan, intervensi pemerintahnya. Di mana harga minyak goreng dalam negeri dibiarkan ketergantungan ke harga CPO internasional,” ungkap Oke.
Berbagai langkah sudah dilakukan pemerintah untuk menjinakkan harga minyak goreng. Mulai dari operasi pasar, menetapkan DMO (domestic market obligation) dan domestic price obligation (DPO) kepada produsen CPO dan turunannya. Tapi persoalan minyak goreng masih belum teratasi.
Kelangkaan Gula
Menyusul minyak goreng, pasokan gula pasir juga dikabarkan langka terutama di ritel-ritel modern. Kebutuhan gula konsumsi nasional saat ini sekitar 3,2 juta ton.
Sementara kemampuan produksi gula nasional yang berbasis tebu saat ini hanya berkisar 2,3 juta ton.
Sehingga kekurangan gula konsumsi tersebut dipenuhi dari impor gula.
Indonesia kini menjadi salah satu importir gula terbesar di dunia. Padahal di dekade 1930-an saat masih zaman kolonial Belanda, Indonesia pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua dunia setelah Kuba.
Soal kelangkaan gula saat ini, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian (Kementan) Ardi Praptono mengatakan, kemungkinan disebabkan kendala distribusi.
Dari segi pasokan, ia menilai ketersediaan gula mencukupi untuk kebutuhan nasional.
"Dalam pemenuhan gula periode Januari sampai dengan Maret (2022) masih dipenuhi dari stok gula tahun lalu ditambah dengan gula yang diimpor tahun 2022 ini," jelas Ardi kepada kumparan, Rabu (9/2).
Menurut Ardi, pabrik gula dalam negeri akan mulai proses penggilingan baru pada bulan Mei 2022, dan perkiraan tutup giling pada Oktober sampai November 2022.
"Sesuai dengan hasil Rakortas tingkat Menteri disepakati bahwa untuk memenuhi kekurangan gula konsumsi diimpor gula dalam bentuk raw sugar sekitar 891 ribu ton dan dalam bentuk gula kristal putih sekitar 150 ribu ton yang diharapkan sudah masuk dan didistribusikan sebelum musim giling di bulan Mei 2022," ujarnya.
Kelangkaan Tahu dan Tempe
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan, Indonesia sebenarnya pernah swasembada kedelai di era Presiden Soeharto. Tepatnya pada 1992.
Tapi sekarang, sekitar 80 persen kebutuhan kedelai berasal dari impor. Saat ini harga kedelai meningkat akibat fluktuasi harga internasional, khususnya di Amerika Serikat.
Produsen terbesar kedelai di dunia adalah Brasil, Amerika Serikat, Argentina, dan China.
Pada 2020, harga kedelai di tingkat konsumen masih sekitar Rp 8.500 per kilogram.
Namun pada 2021 sudah naik menjadi Rp 9.500 per kg hingga Rp 10.000 per kg.
Kini, harga kedelai sudah berada di atas Rp 11.000 per kg.
Para pengrajin tahu tempe pun menjerit. Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (PUSKOPTI) akan mogok produksi pada 21-23 Februari 2022.
Aksi ini merupakan protes kepada pemerintah yang dinilai tak mampu menstabilkan harga kedelai.
Ketua PUSKOPTI DKI Jakarta, Sutaryo, mengatakan aksi mogok produksi ini dilakukan untuk menaikkan harga jual tempe dan tahu sembari menunggu pemerintah mengambil tindakan.
“Dengan estimasi harga kedelai akan mencapai harga Rp 12.000 per kg maka pengrajin pada demo untuk menaikkan harga jual tempe dan tahunya secara bersama-sama. Rata-rata naiknya 20 persen dari harga sebelumnya,” ujar Sutaryo pada rilis resmi PUSKOPTI DKI Jakarta yang diterima kumparan, Kamis (17/2).
Sutaryo menjelaskan untuk saat ini harga tempe dari Rp 5.000 per potong kini dibanderol Rp 6.000 per potong.
Dan untuk harga tahu sebelumnya dijual seharga Rp 35.000 per papan akan naik sesuai persentase. Sementara untuk harga tahu jenis lainnya menyesuaikan.
Lebih lanjut, Sutaryo mengatakan bahwa permasalahan yang dialami pengrajin tempe tahu ini terjadi sudah sejak tahun 2008 silam, dan setiap tahun rutin terulang.
Menurutnya hal itu disebabkan karena perdagangan kedelai selama ini dipegang oleh pihak swasta.
“Hari ini juga harga kedelai di Indonesia juga naik, para importir menetapkan harga jual importir juga naik. Bagi pedagang tempe dan tahu sulit untuk menetapkan harga jual. Hal ini yang bisa mengatur tata niaga kedelai adalah pemerintah,” terangnya.
Adapun aksi mogok produksi ini dilakukan produsen tempe dan tahu se-Jabodetabek selama 3 hari dimulai dari tanggal 21-23 Februari 2022. [Democrazy/tmp]