DEMOCRAZY.ID - Hasil kajian tim Akademisi Peduli Wadas mengungkap, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) Bendungan Bener oleh Kementerian PUPR tidak walid dan manipulasi legislasi.
Perwakilan koalisi Akademisi Peduli Wadas, Rina Mardiana menerangkan, bedah AMDAL ini diselenggarakan melalui dua rangkaian.
Pertama, dilakukan peninjauan lokasi oleh Tim Akademisi dari PSA IPB, UNES, UNS, dan UGM.
“(Rangkaian) Kedua, bedah AMDAL dilakukan dengan mendengarkan kesaksian dari warga Wadas,” ujar Rina dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/2/2022) malam.
Hasil kajian dari dua rangkaian tersebut dijelaskan oleh sejumlah akademisi yang mengikuti prosesnya.
Sebagai contoh, dia memaparkan penjelasan pakar hukum lingkungan Unika Soegijopranoto, Beni Setianto, yang mengungkap penggabungan dokumen AMDAL untuk dua kegiatan, yaitu bendungan dan penambangan.
Padahal keduanya memiliki dampak yang berbeda.
“Dokumen AMDAL cenderung hanya mengeksplorasi dampak pembangunan bendungan dibandingkan penambangan,” kata Rina.
Selain itu, dia juga memaparkan penjelasn Beni yang menyebutkan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) yang dikeluarkan pemerintah tidak serius dalam merencanakan potensi dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pembangunan dan eksplorasi tersebut.
Dalam penilaiannya, penyusun dokumen cenderung meremehkan dampak potensial yang ditimbulkan.
Ia mencontohkan masalah potensi kerawanan sosial yang berpotensi terjadi dalam pembangunan bendungan dan penambangan.
“Potensi ini dengan gampang diselesaikan dengan melakukan sosialisasi kepada warga untuk menyamakan persepsi dan mengatasi dampak potensial kerawanan sosial ini dengan melakukan koordinasi bersama aparat kepolisian,” imbuhnya.
Rina juga menjelaskan hasil telaah pakar ekologi politik dari IPB, Soeryo Adiwibowo yang melihat AMDAL yang dikeluarkan untuk pembangunan bendungan bener memiliki banyak kelemahan.
Namun, salah satu hal fundamental yang disoroti pakar ini yakni terkait metode penelitian yang dipakai.
“Metode penelitiannya tidak valid, dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Purposive sampling cenderung diukur dengan skala ordinal (1,2,3,4) yang memperhitungkan selisih antara besarnya dampak pembangunan bendungan dan penambangan dengan tanpa pembangunan bendungan dan penambangan,” terang Rina.
Rina memberikan simulasi praktis dari penjelasan Soeryo terkait dengan purposive sampling skala ordinal.
Di mana, model yang digunakan untuk mencari bilangan penjumlah, di dalam AMDAL PUPR hasil penjumlahannya menjadi tidak valid dan tidak logis.
“Soeryo Adiwibowo mengilustrasikan: dampak terhadap kualitas air (minus 2) + dampak terhadap kerusakan jalan (minus 3) + dampak terhadap peluang berusaha (+5). Maka kalkulasi angka ini menjadi (-2)+(-3)+5=0. Kekeliruan yang sangat fundamental melakukan kalkulasi perhitungan semacam ini (angka 0), karena seolah-olah maknanya pembangunan bendungan dan penambangan dampaknya 0,” paparnya.
Artinya dari metode tersebut, ditegaskan Rina, dokumen AMDAL yang disusun untuk melegitimasi pembangunan bendungan bener ini tidak dapat dijadikan sebagai acuan pengambilan keputusan.
“Dengan demikian, izin lingkungan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah tidak valid secara akademik,” jelasnya.
Terakhir, Rina menjabarkan hasil kajian sosiolog UNJ, Abdul Mughlis, yang sama sekali tidak menemukan tujuan pembangunan bendungan dan penambangan batu andesit diarahkan kepada kesejahteraan masyarakat.
Justru, yang dia lihat di dalam regulasi yang dibuat hanya instrumen yang membuat kelompok masyarakat terpecah.
“Manipulasi legislasi dan manipulasi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan ini memicu konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Dampak selanjutnya, rusaknya sistem sosial di wilayah-wilayah yang desanya menjadi objek pembangunan. Pembangunan bendungan bener tidak memiliki kejelasan tujuan,” urainya.
“Jika Bendungan Bener bertujuan untuk membangun saluran irigasi, akan tetapi pembangunan ini justru menghancurkan ruang hidup dan penghidupan masyarakat, khususnya di Desa Wadas,” tegasnya.
Dari hasil kajian tersebut, Rina menyampaikan bahwa koalisi memberikan tiga rekomendasi dan atau pernyataan sikap kepada pemerintah, yang antara lain sebagai berikut.
Pertama, meminta Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, untuk mencabut Izin Lingkungan AMDAL, karena dokumen AMDAL disusun dengan metode yang tidak valid sehingga tidak layak dijadikan acuan pengambilan keputusan/kebijakan
Kedua, menolak penambangan batuan andesit di Desa Wadas dan mengubah watak pembangunan pemerintah yang cenderung mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan manusia dan lingkungan, sehingga proyek-proyek serupa harus ditinjau ulang.
Adapun civil society yang tergabung di dalam koalisi Akademisi Peduli Wadas antara lain Kika, Walhi Yogyakarta, YLBHI-LBH Yogyakarta, Pukat UGM, Pusat Studi Agraria IPB, dan Kontras. [Democrazy/rmol]