DEMOCRAZY.ID - Kontroversi sosok Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman akhir-akhir ini kerap menggemparkan publik.
Sebagaimana diketahui beberapa ucapan dan tindakan Dudung sering kali melahirkan kontroversi dan menimbulkan gesekan dengan beberapa kelompok ormas Islam, sebut saja FPI dan Habib Rizieq Syihab (HRS).
Kontroversi orang nomor satu di Angkatan Darat ini membawa kembali ingatan rakyat Indonesia pada faksi yang ada di tubuh TNI yang lama terbentuk secara opini yaitu "Jenderal Hijau" dan "Jenderal Merah".
Stigma Jenderal Hijau dan Merah ini secara sejarah lahir pada kepemimpinan Soeharto, sekitar tahun 1980-1990.
Jenderal Merah saat itu menurut Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zein adalah mereka yang dianggap nasionalis dan tidak membawa bendera agama.
Sementara Jenderal Hijau ialah mereka yang berasal dari subkultural Islam dan dekat dengan ulama.
Pada era Soeharto Jenderal Merah melekat dengan kelompok Jenderal TNI (Purn) LB. Moerdani dan Jenderal Hijau untuk kelompok Jenderal TNI (purn) Faisal Tanjung.
Kubu LB.Moerdani saat itu dianggap yang menjadi pihak bertanggungjawab dalam beberapa kasus kelam yang menimpa umat Islam, sebut saja tragedi Tanjung Priuk pada September 1984.
Beberapa tokoh kelompok Jenderal Merah saat itu ada nama Mayjend TNI Edy Sudrajat, Mayjend TNI Sintong Pandjaitan dan Brigjend TNI Theo Syafei.
Sedangkan kelompok Jenderal Hijau saat itu ada nama Mayjend TNI R Hartono yang berasal dari keluarga Muhammadiyah dan menjabat Pangdam Brawijaya Jawa Timur.
Dua faksi Jenderal ini menurut para pengamat politik adalah siasat dan strategi Soeharto pada masa kepemimpinannya sebagai Presiden.
Diawal menjabat sebagai Presiden, Soeharto dianggap "lengket" dengan kelompok hijau karena untuk menggebuk PKI dan para pengikutnya saat itu, bail sipil maupun dari kalangan militer sendiri.
Pada pertengahan kepemimpinannya, Soeharto merapat ke kelompok merah guna meredam gerakan umat Islam yang saat itu dianggap melawan dengan isu azas tunggal Pancasila.
Apa yang telah terjadi akhirnya seakan melekat dan tidak hilang terkait Jenderal Hijau dan Merah pada tubuh TNI.
Perhelatan Pilpres 2014 menjadi saksi berkumpulnya para pensiunan Jenderal dari dua faksi. Mereka hadir menjadi tim sukses di dua pasangan Capres-Cawapres saat itu.
Di kubu Prabowo-Hatta saat Pilpres 2014 ada nama Jenderal TNI (purn) Djoko Santoso, Letjend TNI (purn) M.Yunus Yosfiah, Mayjend TNI (purn) Kivlan Zen dan purnawirawan Jenderal lainnya.
Kubu pasangan Jokowi-JK terdapat nama Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono, Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Rozy dan yang lainnya.
Para purnawirawan Jenderal tersebut tidak jarang saling melempar isu dan opini terkait sepak terjangnya masing-masing saat masih aktif di TNI.
Seakan tidak ingin tenggelam, opini faksi Jenderal Hijau kembali hadir saat ada Aksi Bela Islam yang fenomenal dengan sebutan Aksi 212 ini.
Jenderal.TNI. Gatot Nurmantyo saat itu dianggap menjadi aktor dan simbolnya, sampai dengan pensiun Gatot memang aktif dalam kegiatan politik yang berada pada kelompok umat Islam. [Democrazy/hops]