DEMOCRAZY.ID - Sejumlah negara dunia, salah satunya Amerika Serikat (AS), menyebut China berupaya mengalihkan isu pelanggaran berat HAM terhadap muslim Uighur, dengan menunjuk Diniheer Yilamujiang, atlet ski dari etnis minoritas tersebut sebagai pembawa obor Olimpiade Beijing.
“Ini upaya China untuk mengalihkan kita dari masalah (Uighur) sebenarnya yang ada di sana. Kami tahu ada genosida, Uighur sedang disiksa, dan Uighur adalah korban pelanggaran hak asasi manusia oleh China," kata Duta besar AS untuk PBB Linda Thomas Greenfield kepada CNN dan AFP.
Saat ini, Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Kanada termasuk negara-negara melakukan boikot diplomatik ke Olimpiade Beijing atas masalah hak asasi manusia, terutama soal Uighur.
Menteri luar negeri Australia, Marise Payne beberapa waktu lalu menjadikan ini sebagai prioritas Australia atas nama kemanusiaan, dimana negaranya berkomitmen pada norma yang mendukung hak asasi manusia universal, kesetaraan gender, dan supremasi hukum.
Sementara itu, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengingatkan negara-negara dunia agar tidak terpengaruh pengalihan isu pelanggaran berat HAM terhadap etnis Uighur, yang dilakukan China dengan berbagai cara, termasuk dalam agenda Olimpiade Beijing.
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan harapan China menarik perhatian dunia terhadap isu dinamisnya kehidupan sosial di negara mereka, gagal total karena pelanggaran berat HAM tidak dapat dialihkan hanya dengan menampilkan atlit asal Uighur sebagai pembawa obor Olimpiade Beijing.
“Kelihatan sekali maksud terselubung China mengalihkan isu pelanggaran berat HAM di Xinjiang, dengan menunjuk atlit asal Uighur sebagai pembawa obor olimpiade,” kata AB Solissa, Selasa, (15/2/2022).
Saat ini, kata dia semakin banyak masyarakat dunia yang mengetahui betapa kejamnya China terhadap muslim Uighur, yang sejatinya adalah warga nagara mereka sendiri.
Fakta berupa bukti-berupa foto, video dan dokumen yang memperlihatkan sadisnya perlakuan China terhadap muslim Uighur mulai dari penahanan masal, sterilisasi paksa, penyiksaan fisik, pemerkosaan, pernikahan paksa yang menjurus pada aksi genosida, sudah banyak beredar dan dimiliki negara-negara dunia.
Seluruh fakta dan bukti kekejian China menyebabkan tidak berfungsinya mesin-mesin propaganda China yang salalu menggembar-gemborkan narasi bahwa orang Uighur menikmati kehidupan yang damai, harmonis, dan bahagia di China.
“Tidak satupun (mesin propaganda) yang dapat berfungsi sebagai alat campaign, untuk mem-brainwash negara-negara dunia agar melupakan kejahatan kemanusiaan terhadap muslim Uighur,” tutur Solissa.
Apalagi, lanjut Solissa, sejak penahanan massal muslim Uighur pada tahun 2016, tergambar jelas Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah memulai upaya sistematis dan terkoordinasi untuk menghapus budaya Uighur dan membuat kembali minoritas muslim tersebut menjadi warga yang fleksibel dan produktif melalui “pendidikan ulang”.
Sebagai bagian dari proses ini, anak-anak telah dipisahkan dari orang tua mereka untuk ditempatkan di penitipan negara, sementara para wanita Uighur menjadi sasaran pengendalian kelahiran invasif dan pelecehan seksual, atau ditahan tahanan dan masuk dalam sistem kerja paksa.
“China juga telah melarang penggunaan bahasa Uighur dalam bahasa percakapan dan tulisan, memberlakukan pembatasan praktik keagamaan, merobohkan masjid dan situs keagamaan lainnya, menggunakan bujukan keuangan untuk mendorong perkawinan campur dengan kelompok etnis Han yang dominan, dan menganiaya kaum intelektual Uighur,” jelas AB Solissa.
“Meski Olimpiade Beijing tetap diselenggarakan, kita masyarakat dunia seyogianya jangan sampai termakan settingan China yang ingin mengalihkan isu pelanggaran berat HAM yang mereka lakukan kepada jutaan muslim Uighur,” pungkas AB Solissa. [Democrazy/oke]