DEMOCRAZY.ID - Fraksi PKS DPR RI mengkritik disahkannya RUU Ibu Kota Negara (IKN) hari ini.
Sekretaris Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah menilai ada kontradiksi saat pemerintah ngotot ngebut memindahkan ibu kota dengan anggaran hampir Rp 500 triliun.
Pasalnya, di sisi lain ada ribuan guru honorer yang sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun namun belum mendapatkan kepastian nasib kesejahteraannya.
“Miris sekali, ribuan guru honorer masih terkatung-katung nasibnya. Tahun berganti tahun, namun kesejahteraan dan kepastian status ketenagakerjaan mereka masih terabaikan. Sementara pemerintah malah sibuk mengedepankan nafsu memindahkan ibukota sesegera mungkin. Sangat memprihatinkan,” kata Ledia, Selasa (18/1)
Menurut Ledia, persoalan guru honorer bak sebuah drama berseri yang tak kunjung usai.
Bertahun-tahun persoalan guru honorer baik di sekolah negeri maupun swasta terus mendulang isu pedih dan kritik.
Secara kesejahteraan, Ledia berpandangan, nasib mereka amat memprihatinkan karena hanya mendapat kisaran gaji puluhan hingga ratusan ribu rupiah per bulan.
Karena itu, ditegaskan Ledia, para guru honor ini sangat mendambakan untuk diangkat menjadi PNS demi kejelasan status dan peningkatan kesejahteraan, namun Pemerintah kemudian menghentikan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk formasi guru mulai 2021.
“Sebagai gantinya Pemerintah meminta para guru honorer untuk mengikuti seleksi calon guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),” urai Ledia.
Namun dalam perjalanannya, dibeberkan Ledia, proses seleksi ini ternyata memunculkan kegaduhan.
Mulai dari janji pembukaan seleksi satu juta guru pada 2021 yang direvisi menjadi bertahap, persyaratan yang mengukur rata semua kriteria di masa awal pembukaan seleksi, proses pelaksanaan yang memunculkan kesulitan bagi para peserta seleksi, kriteria penilaian yang dianggap tidak adil hingga ancaman ketidakadilan bagi sekolah swasta dan guru honorer tak lolos seleksi usai pengumuman kelulusan seleksi PPPK.
“Pemerintah nampak tidak matang dalam mempersiapkan proses seleksi PPPK ini. Selain beberapa bagian proses seleksi yang dianggap menyulitkan dan tidak adil, adanya kebijakan yang berubah, direvisi, bahkan buruknya komunikasi dengan Pemda yang membuat banyak Pemda tidak mengajukan formasi guru juga menjadi satu paket masalah yang harus sesegera mungkin dievaluasi Pemerintah sebelum memutuskan seleksi tahap berikut di 2022 ini,” papar Ledia.
Ledia merasa miris, memasuki tahun 2022, persoalan guru honorer nampaknya masih tak kunjung usai.
Usai penyelenggaraan seleksi PPPK pada 2001 ternyata bermunculan pula masalah-masalah baru.
“Misalnya saja sekolah-sekolah swasta kini terancam kehilangan sangat banyak guru karena para guru honorer yang lolos seleksi ini ditarik di sekolah-sekolah negeri. Menjadi tidak adil bagi sekolah swasta yang sudah mengentaskan guru-guru berkualitas ini karena mereka harus mencari guru pengganti dan itu tidak mudah,” ungkap legislator dapil Kota Bandung dan Kota Cimahi ini.
"Dan satu lagi, bagi para guru honorer di sekolah negeri yang tidak lolos seleksi PPPK terancam pula kehilangan pekerjaan manakala posisi mereka digantikan oleh guru PPPK cabutan dari sekolah swasta," imbuhnya.
Atas dasar itu, Ledia meminta Pemerintah untuk segera merevisi proses rekrutmen PPPK guru sejak hulu sampai hilir dengan tidak lupa memasukkan kajian dan rencana mitigasi risiko dalam perekrutan guru PPPK ini.
“Segala kemungkinan harus dipertimbangkan dan ditelisik risikonya, bukan hanya dari sudut pandang Pemerintah namun juga pihak Pemda dan lembaga pendidikan swasta. Karena persoalan pemenuhan kebutuhan guru, peningkatan kualitas kesejahteraan guru dan kejelasan status ketenagakerjaan guru menjadi tanggung jawab bersama dan tidak boleh saling meninggalkan satu sama lain,” tandas Ledia.
Pengesahan RUU IKN memang tampak terburu-buru, kemarin Senin (17/1) DPR dan pemerintah rapat semalam suntuk untuk pengambilan tingkat I di Pansus IKN. [Democrazy/kmpr]