DEMOCRAZY.ID - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meenyentil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal pembayaran bunga utang yang terus naik.
DPD menyoroti rasio pembayaran bunga utang terhadap total belanja pemerintah pusat di APBN 2022 yang mencapai 20,87 persen atau sebesar Rp 405,86 triliun.
"Meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding 2015 yang sebesar Rp 156 triliun atau 13,8 persen dari total belanja pemerintah pusat," kata Ketua Komisi IV DPD Sukiryanto dalam rapat bersama di Jakarta, Senin, 24 Januari 2022.
Menurut Sukiryanto, pembayaran bunga utang Rp 405,86 triliun ini terdiri dari dua kelompok.
Pertama, Rp 393,6 triliun untuk bunga utang dalam negeri atau setara 97 persen dan Rp 12,17 triliun untuk luar negeri atau setara 3 persen.
DPD menyadari pendapatan negara belum optimal sehingga harus ada opsi pembiayaan utang.
DPD menyoroti pembiayaan utang terhadap pendapatan negara yang mencapai Rp 1.229 triliun di 2020 atau setara 74,62 persen, lalu Rp 1.026,9 triliun di 2021 (setara 59,17 persen), dan Rp 973,5 triliun di 2022 (setara 52,74 persen).
Meski menurun, DPD mencatat utang luar negeri akibat implikasi pembiayaan utang semasa pandemi terus meningkat.
Per November, utang luar negeri pemerintah di luar BUMN dan Bank Sentral yang dicatat DPD mencapai US$ 202 miliar atau setara Rp 2.931 triliun (Kurs Rp 14.500 per dolar Amerika Serikat).
Di sisi lain, peningkatan utang ini juga terjadi bersamaan dengan meningkatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). DPD menyebut SILPA 2021 yang sebesar Rp 84,9 triliun memang turun hingga 65,64 persen dibandingkan 2020 yang sebesar Rp 245,6 triliun.
Namun, kata Sukiryanto, SILPA 2021 ini jauh lebih tinggi dari SILPA 2019 yang sebesar Rp 46,4 triliun, SILPA 2018 yang sebesar Rp 36 triliun, maupun SILPA 2017 dan 2016 yang masing-masing Rp 25,64 triliun dan Rp 26,16 triliun.
Sri Mulyani lantas merespons sorotan dari DPD ini. Ia menyebut seluruh negara menghadapi hak yang sama yaitu kenaikan utang. Tahun 2021, realisasi sementara rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto atau PDB mencapai 41,4 persen.
Sri Mulyani menilai rasio utang Indonesia ini masih terkendali karena lebih rendah bila dibandingkan beberapa negara lain.
"Kita sekitar 42 persen, negara lain 100 bahkan di atas 100 persen, jadi kalau hanya lihat satu daerah, kita ga kebayang perspektif besarnya," kata dia.
Terkait sorotan DPD, Sri Mulyani dalam paparannya menyampaikan bahwa pembayaran bunga utang sudah lebih efisien.
Ia mencontohkan pembayaran bunga utang fi APBN 2021 yang Rp 29,8 triliun lebih dari rendah dari yang dipatok di APBN.
Sementara terkait SILPA, Sri Mulyani mengatakan sebenarnya sisa anggaran tahun lalu juga masih akan digunakan untuk tunggakan pembayaran yang belum dilunasi di 2021.
Sampai 2022 ini, Sri Mulyani masih punya tunggakan tagihan Rp 94 triliun untuk penanganan pasien Covid-19 dan Dana Bagi Hasil (DBH) ke daerah.
Terakhir, Sri Mulyani meminta DPD tak melihat dari satu sisi saja bahwa utang dan pembayaran bunga utang naik.
Tapi di sisi lain, ia meminta DPD untuk melihat bahwa manfaat dari APBN yang ditopang pembiayaan utang ini.
Sri Mulyani mencontohkan bagaimana pendapatan negara dan penerimaan pajak anjlok 16 persen dan 19 persen tahun 2020, tapi APBN berusaha menyerap tekanan itu. Sehingga, belanja negara tetap naik 12,4 persen.
"Saya harap DPD tidak hanya melihat hanya kepada biaya utangnya naik, tapi nggak melihat manfaatnya banyak. Kalau pakai bahasa Islam kufur nikmat," kata dia. [Democrazy/dkp]