DEMOCRAZY.ID - Anies Baswedan dan Giring Ganesha saling berbalas sindiran.
Dagelan yang ditunjukkan dua tokoh publik ini menjadi tontonan khalayak ramai, setidaknya dalam beberapa pekan terakhir.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru saja mengundang grup band Nidji ke Jakarta International Stadium (JIS), Jakarta Utara dalam rangka uji coba sound system, Minggu malam 16 Januari kemarin.
Manuver ini disinyalir kuat sebagai ‘pukulan’ balik Anies terhadap suara sumbang pentolan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu.
Sementara sebelumnya, Giring melakukan inspeksi mendadak ke lokasi calon sirkuit balap mobil Formula E di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Rabu 5 Januari lalu.
Di sana Giring merekam langsung kondisi calon sirkuit tersebut yang katanya jauh dari kata siap.
Mantan vokalis Nidji itu bahkan pernah menyebut Indonesia akan hancur jika dipimpin sosok pembohong.
Ia menyatakan, siapapun rakyat Indonesia tidak ingin pemimpin negara ini di tangan pembohong.
Yaitu Pemimpin yang memberi janji palsu kepada rakyat saat kampanye hanya sekedar untuk disukai sesaat dan dipilih rakyat.
Dikatakan Giring, kemajuan kita akan terancam jika kelak orang yang menggantikan Jokowi adalah sosok yang punya rekam jejak menggunakan isu sara dan menghalalkan segala cara untuk menang dalam pilkada
‘Serangan’ ini disinyalir kuat mengarah kepada orang nomor satu di Jakarta itu.
Lantas sampai kapan dagelan ini akan disajikan di muka publik?
Siapa untung, siapa buntung? Siapa yang bakal KO duluan?
Pengamat Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sukri Tamma berpandangan, dalam situasi ini, pada dasarnya keduanya bisa mengambil manfaat dengan adanya pemberitaan yang cukup intens terkait dengan ‘perseteruan’ ini maka paling tidak mereka akan terus muncul dalam berbagai berita yang diakses masyarakat.
“Maka keduanya tentu akan menjadi aktor yang senantiasa diingat oleh masyarakat,” ucap Sukri Tamma, Selasa (18/1/2022).
Nah, aspek ini tentu penting paling tidak terkait dengan popularitas mereka secara politik.
Di sisi lainnya, Sukri mengatakan keduanya juga bisa mendapatkan manfaat dari upaya penciptaaan imej politik tertentu.
Pada sisi Anies misalnya, dengan hal seperti ini barangkali akan memunculkan imej Anies sebagai tokoh yang tenang, sabar dan tidak frontal dalam menyikapi kritik dan perbedaan pendapat.
“Jika hal ini ditangkap masyarakat maka Anies akan muncul sebagai sosok yang akan menarik perhatian mereka,” terangnya.
Sementara itu lanjut Sukri, di sisi Giring, hal ini mungkin akan menunjukkan bahwa Giring sebagai aktor yang berbicara gamblang dan terus terang tanpa peduli siapa yang mungkin terkena imbasnya karena mengatakan kebenaran mestinya memang tidak pandang bulu.
“Nah hal ini tentu akan memunculkan imej yang baik buat citranya,” cetus Sukri.
Meskipun demikian, di sisi yang lain, tentu hal ini punya potensi negatif bagi keduanya.
Bagi Anies hal ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan dalam benak masyarakat bahwa mungkin memang sosok Anies seperti yang dinyatakan oleh Giring.
“Sehingga kapasitas kebaikannya sebagai tokoh politik mesti dipertanyakan,” katanya.
Pada sisi Giring, hal ini juga bisa menjadi bumerang jika kemudian pada akhirnya apa yang dikatakannya sulit dibuktikan.
“Atau kemudian masyarakat menangkapnya sebagai serangan personal terhadap sosok Anies dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu,” jelasnya. [Democrazy/jar]