POLITIK

Terungkap! Jadi Ini 'Alasan Mendasar' di Balik Ide Besar Firli Bahuri Ingin Threshold 0 Persen

DEMOCRAZY.ID
Desember 14, 2021
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Terungkap! Jadi Ini 'Alasan Mendasar' di Balik Ide Besar Firli Bahuri Ingin Threshold 0 Persen

Terungkap! Jadi Ini 'Alasan Mendasar' di Balik Ide Besar Firli Bahuri Ingin Threshold 0 Persen

DEMOCRAZY.ID - Threshold 0 persen menjadi perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan tanpa alasan, tetapi memiliki latar belakang dari pengalaman KPK dalam penindakan terhadap koruptor.


Ketua KPK, Firli Bahuri menjelaskan bahwa semua berawal dari enam kali roadshow webinar pendidikan dan pencegahan korupsi di provinsi, kabupaten, dan kota hasil Pilkada 2020 kemarin.


"Serta setiap kali melakukan rapat koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi terintegrasi di daerah, kami terus menerima keluhan yang sama,” ujar Firli kepada wartawan, Selasa (14/12).


KPK menyerap informasi dan keluhan langsung dari rumpun legislatif dan eksekutif di daerah yang mengeluhkan biaya pilkada yang mahal, sehingga membutuhkan modal besar.


"Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi 'balik modal'," kata Firli.


Di sisi lain kata Firli, mencari bantuan modal dari "bohir politik" akan mengikat politisi di eksekutif atau legislatif dalam budaya balas budi yang korup.


Firli pun selanjutnya membeberkan fakta data yang dimiliki KPK. Terakhir, sebesar 82,3 persen calon kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada mereka.


"Data KPK menemukan banyak bentuk balas budi pada donatur pilkada. Salah satunya, 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa)," jelas Firli.


Informasi tersebut kata Firli, didapat KPK dari para gubernur, kepala daerah dan legislatif langsung yang menyadari dorongan korupsi akan sangat tinggi jika biaya politik sangat mahal.


"Kenapa? Prinsip balik modal dan balas budi pada donatur membuat kepala daerah dan anggota legislatif akan menciptakan birokrasi yang korup, karena dari mana lagi mereka mencari pengganti itu kalau bukan dari kas negara," kata Firli.


Firli selanjutnya menceritakan beberapa perkara yang ditangani KPK yang berkaitan dengan biaya politik mahal.


"Di tanah kelahiran saya sendiri, di Kabupaten Muara Enim, Ahmad Yani selaku Bupati dicopot dari jabatannya setelah Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman Ahmad Yani menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti Rp 2,1 miliar," jelas Firli.


Lalu, Juarsah selaku Wakil Bupati Muara Enim kemudian dilantik sebagai Bupati Muara Enim menggantikan Yani. 


Namun, Juarsah, ikut ditahan KPK terkait kasus suap fee proyek yang sama di masa dirinya menjabat sebagai Wakil Bupati.


Bahkan saat ini anggota DPRD Kabupaten Muara Enim 25 orang berperkara korupsi dan tengah ditangani KPK.


"Pada contoh tersebut, pertanyaannya, mengapa rumpun eksekutif dan legislatif secara mufakat melakukan perilaku koruptif?" tanya Firli.


Dari informasi dan keluhan yang langsung diterima Firli, karena biaya politik yang mahal memunculkan upaya balik modal dan balas budi yang berujung adanya dorongan melakukan tindak pidana korupsi.


"Biaya politik yang mahal tidak hanya soal kampanye, tapi juga politik transaksional atau disebut mahar politik, kita bisa belajar dari Kabupaten Oku tempat saya lahir, sampai sekarang tidak punya bupati. Bupati terpilih telah meninggal, sementara Wabup Oku divonis 8 tahun," tutur Firli.


"Sewaktu pilkada merupakan calon tunggal karena semua partai diambil sebagai pendukung, namun sampai sekarang tidak juga tercapai suatu kesepakatan dari 9 parpol untuk mengajukan calon bupati pengganti sehingga sampai sekarang tidak ada bupati definitif," sambung Firli.


Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan politik transaksional dengan mahar. 


Padahal dengan adanya politik transaksional, akan menciptakan kultur kepemimpinan yang koruptif karena akan membutuhkan modal sangat besar.


"Lalu apakah kita semua tidak bisa melihat relasi tersangka 33 pimpinan kementerian/lembaga, 22 gubernur, 141 kepala daerah, 309 anggota legislatif, dan 345 pihak swasta dalam seluruh tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK?" terang Firli.


Selain adanya indikator memperkaya diri, upaya "balik modal" dan "balas budi" kepada donatur oleh para kepala daerah dan legislatif setelah terpilih, KPK menganggap penting bersikap agar pemberantasan korupsi bisa diselesaikan dari hulu ke hilir.


"Pada konteks ini maka saya berpendapat bahwa jika PT 0 persen bisa membuat mahar politik parpol hilang dan biaya kampanye murah, sehingga pejabat terpilih lebih leluasa bekerja baik, ketimbang mikir korupsi untuk balik modal dan balas budi donatur, kenapa tidak PT ini 0 persen," terang Firli.


Sehingga, Firli menilai harus segera ditangani akar persoalannya jika memang biaya politik mendorong hasrat korupsi yang membabi buta bagi seluruh pejabat politik. Salah satunya presidential threshold.


"Jika memang PT telah mendorong politik transaksional dalam bentuk mahar-mahar politik dan biaya politik mahal menciptakan donokrasi maka, pemberantasan korupsi harus diupayakan dengan perbaikan kultur dan sistem pemilihan raya di Indonesia yang dipimpin orkestrasinya langsung oleh Presiden RI, Bapak Joko Widodo," pungkas Firli. [Democrazy/rmol]

Penulis blog