DEMOCRAZY.ID - Sebanyak 16 jiwa dari 5 Kepala Keluarga (KK) warga Kampung Rawa Kalong, Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi terkurung tembok beton yang dibangun oleh salah satu perusahaan BUMN. Tembok beton itu mengelilingi sebagian perkampungan warga.
Sebuah tangga dari kayu kemudian dibuat oleh warga seadanya yang menjadi akses melintas terdekat menuju Jalan Raya Rawakalong.
Pantauan wartawan, tembok beton itu setinggi kurang lebih dua meter.
"Sudah sepuluh hari lebih (penembokan), warga resah. Ya resahnya karena aktivitas sehari-hari tertutup sedangkan di sini itu adalah pekerja, buruh harian. Ada juga yang ambil rongsokan (pemulung) di pesisir pantai untuk menafkahi hidupnya," kata Kartini, Ketua RT 01/RW 32, Kampung Rawa Kalong, Kelurahan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Kamis (16/12/2021).
Kartini menunjukan pasangan suami istri lanjut usia Sakimi (85) dan Lina.
Kartini mengatakan dua warganya itu sudah tinggal sejak 35 tahun di kawasan tersebut.
Keduanya berprofesi sebagai pemulung. Sejak adanya penembokan, aktivitas keduanya disebut Kartini menjadi terganggu.
"Setelah ada pemagaran ini aktivitas beliau tertutup, apalagi harus turun naik tangga. Kalau sudah tua begini bagaimana caranya untuk naik tangga?" kata Kartini.
Kartini mengaku sempat berbincang dengan pekerja yang membangun tembok tersebut.
Mereka mengaku dari Pertamina, penembokan sendiri dibangun secara bertahap selama 10 hari terakhir.
Kartini sempat meminta sedikit akses jalan namun tidak dikabulkan.
"Pengakuan yang nembok mereka dari Pertamina. Setiap pemagaran kami selalu meminta jawaban untuk kelanjutan (nasib) warga kami, sampai mana batas penembokan. Sampai hari Minggu itu kan hari terakhir penembokan, permohonan untuk jalan tidak dikabulkan, termasuk sarana masjid yang ada di sana sarana ibadah yang mana dipakai oleh warga sekarang ditutup," ucap Kartini.
Kartini menegaskan warganya sadar mereka tinggal di atas lahan milik negara.
Namun menurutnya, warga sudah tinggal di lokasi itu sudah berpuluh tahun bahkan saat kondisi tanah masih berupa semak-semak.
"Warga di sini sadar bahwa mereka itu tidak mengakui lahan yang ada di sini, cuma mereka meminta seperti apa bangunan warga. Kami tidak muluk-muluk (misalkan) ingin satu menjadi dua rumah, kami hanya ingin tadinya punya rumah nanti bisa bangun rumah kembali. Aturan itu kan sudah ditentukan pemerintah," jelas Kartini.
"Rata-rata (warga) sudah tinggal dari 1988, warga paham ini bukan hak mereka, dulunya lahan tidak bertuan, rumput juga dan semak tinggi-tinggi," sambung dia.
Sebuah plang larangan berisi tulisan berdiri di beberapa lokasi, tulisan dalam plang itu: Tanah Milik Pertamina (Persero) DILARANG merusak, menghilangkan papan, menggarap, memasuki, tanpa ijin PT Pertamina. Melanggar pasal 167 Jo pasal 389 Jo pasal 406. Dengan ancaman kurungan penjara.
detikcom sudah berupaya untuk melakukan konfirmasi terkait keluhan warga tersebut.
Namun, pihak Pertamina meminta waktu untuk buka suara berkaitan hal tersebut.
"Kami juga menunggu arahan pimpinan kami. Karena permasalahan itu sudah di-handle oleh pusat. Jadi biar efektif kami koordinasi juga," kata salah salah seorang staf Pertamina melalui aplikasi perpesanan. [Democrazy/detik]