DEMOCRAZY.ID - Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per akhir Oktober 2021 tercatat US$ 422,3 miliar.
Dengan asumsi US$ 1 dibanderol Rp 14.346 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) 13 Desember 2021, angka itu setara dengan Rp 6.058,31 triliun.
Meski masih melampaui Rp 6.000 triliun, ULN turun dibandingkan September 2021.
Kala itu, ULN tercatat US$ 423,8 miliar (Rp 6.079,83 triliun).
"Perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan posisi ULN Pemerintah dan sektor swasta. Secara tahunan, posisi ULN Oktober 2021 tumbuh 2,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ULN bulan sebelumnya sebesar 3,8% (yoy)," sebut keterangan tertulis BI, Selasa (14/12/2021).
Selama ini, utanç luar negeri pemerintah maupun swasta berasal dari sejumlah negara maupun lembaga donor.
Lantas, siapa penyumbang terbesar utang Indonesia?
Mengutip data statistik utang luar negeri (SULNI) Bank Indonesia (BI), Selasa (14/12/2021), Singapura menjadi negara nomor satu yang paling sering memberikan Indonesia utangan.
Berikut 5 negara yang memberikan utang terbesar ke Indonesia per Oktober 2021:
1. Singapura sebesar US$ 63,71 miliar
2. Amerika Serikat (AS) sebesar US$ 30,60 miliar
3. Jepang sebesar US$ 27,89 miliar
4. China sebesar US$ 20.86 miliar
5. Hong Kong sebesar US$ 16,82 miliar
Pandemi Covid-19 yang masih menghantui menjadi ancaman besar bagi beberapa negara.
Sebagian negara bahkan mengambil langkah untuk memperbesar utang luar negerinya dalam menangani pandemi.
Melihat fenomena ini, Martin Raiser, direktur negara Bank Dunia untuk China, meminta agar negara-negara peminjam utang agar memberikan keringanan utang kepada negara-negara yang menghadapi utang. Hal ini untuk membantu akselerasi ekonomi global.
"Dunia menghadapi gelombang utang baru, yang telah menumpuk bahkan sebelum pandemi," katanya dalam wawancara eksklusif baru-baru ini kepada China Daily dikutip Rabu, (15/12/2021).
Raiser menyebut bahwa utang luar negeri diprediksi akan terus bertambah.
Pasalnya bantuan likuiditas yang sempat diberikan oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) dirasa tidak mencukupi dalam menghadapi permasalahan kesehatan dan ekonomi selama pandemi.
"Tindakan lebih lanjut, termasuk pengurangan nilai sekarang bersih dalam beban utang negara-negara yang paling rentan diperlukan. Karena utang suatu negara sering dipegang oleh banyak kreditur, penghapusan utang memerlukan koordinasi," tambahnya.
Lebih lanjut, Raiser menyebut China sebagai salah satu negara peminjam dana telah menyambut baik usulan ini.
Hal ini dibuktikan oleh seruan Beijing kepada negara-negara peminjam lainnya untuk menggunakan cara-cara seperti penangguhan utang dan bantuan pembangunan untuk membantu negara-negara berkembang.
"China adalah penyumbang terbesar ke-6 untuk Asosiasi Perkembangan Internasional (IDA). China telah mengisyaratkan dukungan kuat yang berkelanjutan untuk IDA. Ini akan memberikan kontribusi penting bagi kebutuhan negara-negara berpenghasilan rendah saat ini," ujarnya lagi. [Democazy/cnbc]