DEMOCRAZY.ID - Kebijakan yang diterapkan pemerintah terkait tes PCR sebagai syarat bagi pelaku perjalanan, menuai berbagai pro dan kontra.
Bahkan harga tes PCR yang relatif masih tinggi ini dinilai semakin memberatkan masyarakat.
Namun, pemerintah pun lagi-lagi menurunkan harga tes PCR yang awalnya di atas Rp475.000 kini ditetapkan dalam batas maksimal menjadi Rp275.000, bagi wilayah Jawa-Bali; dan Rp300.000 ribu untuk luar Jawa-Bali.
Terkait hal itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh Pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika tes PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi.
ICW juga menyoroti ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR yang setidaknya telah berubah sebanyak 4 kali dalam seminggu terakhir ini.
“Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp2,5 juta. Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp900.000. 10 bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275.000-Rp 300.000,” kata Wana Alamsyah anggota ICW.
Di sisi lain, ICW juga menyebut bahwa ketika lonjakan angka positif Covid-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp900.000/tes.
Hal ini mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut.
“Meskipun sebulan setelahnya turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India, sudah jelas pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu,” katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa terlebih penurunan terakhir pada 27 Oktober lalu itu terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat.
“Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi,” katanya.
Kemudian, tak hanya Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan, tergabung pula ICW, YLBHI, LaporCovid-19, dan Lokataru, pada 31 Oktober 2021 lalu, mengungkap dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut.
“Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih. Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga,” ujarnya.
Berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp 99,5 triliun.
Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen.
Bahkan, dari kondisi tersebut sebenarnya Pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.
Namun, Koalisi mengungkap bahwa terdapat 2 permasalahan dari kondisi di atas.
Pertama, Koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah/perusahaan, akan memasuki masa kadaluarsa.
Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut diduga Pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR.
Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi.
Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR.
Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya.
Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp180.000.
Ketika Pemerintah menetapkan harga Rp900.000, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen, selain itu komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan.
“Sehingga penurunan harga menjadi Rp900.000 juga tidak memiliki landasan yang jelas. Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp350.000 juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi, sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya sejak Oktober 2020 Pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu,” katanya.
Sebagaimana dikutip Pikiran-Rakyat.com dari laman ICW, dari catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar Pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan.
Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya. Demikian, Pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat. [Democrazy/pkry]