DEMOCRAZY.ID - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lingkungan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP26 di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).
“Beberapa hari terakhir, statement presiden dan Menteri LHK membuat riuh diskursus publik,” tulis Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu A Perdana dalam keterangan tertulis, Kamis (4/11/2021).
Walhi berpendapat, klaim Jokowi soal deforestasi hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla) berbanding terbalik dengan fakta.
Menurut Walhi, berdasarkan catatan KLHK, deforestasi terselubung melalui izin pinjam pakai kawasan hutan masih terjadi, dengan rincian untuk tambang 117.106 hektare dan nontambang 14.410 hektare.
Selanjutnya, berdasarkan data audit BPK tahun 2019, dari 6 provinsi di Indonesia, masih ada sekitar 2.749.453 hektare perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan tidak sah.
Namun, menurut Walhi, melalui omnibus law Undang-undang Cipta Kerja, pemerintah justru melakukan pemutihan kejahatan korporasi.
“Atas nama keterlanjuran diberikan waktu 3 tahun untuk penyelesaian keterlanjuran kebun kelapa sawit,” kata Wahyu.
Walhi mencatat, dari citra satelit LAPAN, masih ada 17.801 hotspot. Kemudian, berdasarkan catatan Forest Watch Indonesia (FWI) pada 2021, ada 229 hektare hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia.
Tahun 2019, luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai 1,6 juta hektare, di mana 1,3 juta Hektare atau 82 persen terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
“Ironisnya, di dua pulau itu pula izin-izin industri ekstraktif menguasai wilayah hutan dan wilayah adat,” tulisnya.
Terkait ekosistem gambut, berdasarkan data BNPB terkait perbandingan tahun 2019 dan 2020, secara nasional angka kejadian banjir meningkat, dari 784 menjadi 1.518.
Walhi kemudian menyoroti adanya kebijakan peningkatan target produksi batubara pada 2021.
Tahun sebelumnya target produksi sebesar 550 juta ton, kini meningkat jadi 625 juta ton.
Jika target ditambah, menurut Walhi, akan semakin banyak tambang dibuka dan berpotensi meningkatkan risiko ancaman iklim dan lingkungan hidup.
Kemudian, dalam dokumen RUPTL PLN Tahun 2021-2030, menyebutkan rencana membangun PLTU batubara dengan kapasitas 13,8 GW.
“Menjadi ironi jika pada akhirnya penggunaan energi masih bersandar pada pembangkit listrik energi fosil, tanpa adanya upaya serius melakukan transisi energi,” tulisnya.
Selain itu, merujuk pada studi Jessica F Green dalam Environmental Research yang dipublikasi pada November 2021, “carbon pricing” tidak berdampak siginifikan pada penurunan emisi.
Lebih lanjut, Walhi berpendapat, carbon market pada akhirnya hanya akan menjadi solusi palsu.
Walhi juga menilai ini hanya akan enyerahkannya pada skema pasar karbon, tidak meletakkan rakyat sebagai subyek.
“Pada akhirnya tidak ada dampak signifikan pada perubahan iklim dan pada akhirnya rentan menjadi skema greenwashing bagi korporasi perusak lingkungan,” tegasnya.
Pidato Jokowi
Adapun, Jokowi menyampaikan pidato terkait iklim dan lingkungan di acara KTT COP 26 di Glasgow, Skotlandia, yang digelar 1-2 November 2021.
Video pidato juga dapat dilihat di Youtube Sekretariat Presiden.
Pertama, Jokowi mengeklaim deforestasi di Indonesia telah menurun secara signifikan, menjadi terendah dalam 20 tahun terakhir.
Selanjutnya, Jokowi mengeklaim kebakaran hutan turun 82 persen di tahun 2020 dan Indonesia mulai merehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar hingga tahun 2024.
Lalu, Indonesia telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010-2019. Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia akan mencapai carbon net zink selambatnya tahun 2030.
Jokowi juga menyorot soal pengembangan ekosistem mobil listrik serta pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara.
Selanjutnya, soal pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biofuel serta pembangunan berbasis clean energy termasuk kawasan industri hijau terbesar dunia di Kalimantan Utara. [Democrazy/kmp]