DEMOCRAZY.ID - Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid mengatakan Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan ulang keputusannya mengajukan nama Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI.
Bahkan, menurut Usman, sikap Koalisi yang terdiri dari 14 LSM itu menolak usulan nama calon Panglima TNI baru oleh Presiden Jokowi ke DPR RI.
"Rencana presiden untuk mengangkat Panglima TNI yang baru dengan mengajukan nama KSAD Jenderal Andika Perkasa itu harus dipertimbangkan ulang," kata Usman dalam konferensi pers yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan secara virtual, Kamis (4/11).
Menurut Usman, Jokowi semestinya mengajukan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono sebagai calon Panglima TNI baru.
"Semestinya presiden mengangkat Kepala staf Angkatan Laut sebagai pejabat panglima TNI yang baru," kata Usman.
Pemilihan Yudo sebagai pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan, salah satunya alasan yuridis.
Dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, kata Usman disebutkan bahwa pertahanan negara harus disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia, yakni kepulauan.
Menurut Usman semestinya Presiden Jokowi memahami bahwa kondisi tersebut menjadi alasan mengapa pucuk pimpinan TNI perlu dirotasi.
Selain itu, orientasi pertahanan berbasis negara kepulauan saat ini begitu penting. Terlebih saat ini situasi di Laut China Selatan terus memanas.
Karenanya, kata Usman, dibutuhkan Calon Panglima yang memiliki wawasan pertahanan di sektor kelautan.
"Kita perlu seorang panglima yang memiliki cakrawala berpikir tentang pertahanan strategis di sektor kelautan atau di sektor kepulauan," kata Usman.
"Dalam hal ini semestinya presiden mengangkat Kepala Staf Angkatan Laut sebagai pejabat Panglima TNI yang baru," tambah Usman.
Pada kesempatan tersebut, Usman juga mengingatkan adanya persoalan bahwa Andika diduga pernah terlibat dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Jokowi, menurutnya, juga harus mempertimbangkan hal ini.
Sebab, berdasarkan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2002 itu ditegaskan bahwa pertahanan negara disusun berdasarkan prinsip pertahanan dan HAM.
"Dari sudut pandang HAM jelas implikasi kasus pelanggaran HAM dalam rekam jejak Andika Perkasa itu harus menjadi pertimbangan utama," tuturnya.
Cium Aroma Politis
Selain itu menurut Usman, koalisi menilai faktor politik lebih kental di balik penunjukan Andika, dibanding filosofis dari pertahanan negara maupun persoalan undang-undang mengenai pertahanan negara dan UU TNI.
"Saya menduga ini terjadi karena ada semacam faktor politis. Artinya ketimbang faktor filosofis dari pertahanan negara atau faktor yuridis," kata Usman.
Usman menyebut faktor politis itu lebih kental karena kedekatan Andika dengan Jokowi melalui mertuanya, Jenderal (Purn) TNI A.M. Hendropriyono yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Usman juga menyebut sosok mertua Andika ini sangat dekat dengan ketua partai pengusung Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"Faktor politis tampak lebih kental karena kedekatan sang calon dengan mantan Kepala BIN dan dengan Ketua Umum PDIP," tambahnya.
Ia juga merasa perlu ada yang menjelaskan bagaimana proses yang dilakukan Dewan Kepangkatan dan Jabatan TInggi (Wanjakti) TNI dalam penentuan calon Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto.
Usman menduga Wanjakti reguler sebelumnya sudah menyimpulkan bahwa KSAL merupakan calon Panglima TNI berikutnya. Namun, terdapat perubahan di menit terakhir yang dipengaruhi faktor politis.
"Tapi mungkin ada perubahan di menit-menit terakhir yang dugaan kami lebih ditentukan oleh faktor-faktor politis ketimbang faktor filosofis pertahanan negara atau faktor yuridis tentang pentingnya jabatan Panglima dirotasi," tutur Usman. [Democrazy/cnn]