NARASI - 12 Mei 1998 tiga mahasiswa Trisakti Jakarta ditembak. Jakarta kemudian dibakar. Gedung-gedung, mal-mal dijarah.
Jakarta rusuh tak bisa dikendalikan dan korban bergelimpangan. 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mundur.
Soeharto memang dikepung lawan-lawan politiknya dari berbagai arah. Mahasiswa-mahasiswa menduduki gedung DPR MPR, beberapa menteri mengundurkan diri dan puncaknya beberapa tokoh Islam mendesak Soeharto mundur.
Meskipun TNI dan polisi berdaulat penuh mendukung Soeharto, pemimpin dari Yogyakarta ini tahu diri. Ia tidak mau menggunakan tangan besinya untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia tidak mau seperti Presiden Suriah Bashar Assad yang keras kepala tidak mau mengundurkan diri, meskipun ribuan rakyatnya telah menjadi korban dan negaranya hancur.
Tuntutan agar ia lengser dari kekuasaannya datang dari rakyat, tokoh-tokoh dalam negeri dan luar negeri, tapi Bashar tak menggubrisnya.
Kini tuntutan agar Presiden Jokowi mundur datang dari beberapa tokoh. Yang mengemuka adalah Rizal Ramli dan Amien Rais. Rizal, melihat tata kelola ekonomi yang amburadul dan hutang menumpuk mendesak Jokowi mengundurkan diri. Amien Rais melihat makin mengganasnya kekuasaan oligarki dan bisnis yang menggurita di lingkar kekuasaan presiden, menyarankan Jokowi mundur.
Mungkinkah Jokowi akan mundur? Hitung-hitungan politik, Jokowi hampir mustahil mau mundur. Di samping ia sedang enak-enaknya menikmati kekuasaan, lingkar terdekatnya tidak akan menyetujui ia mundur. Luhut dan Megawati, dua tokoh yang mempengaruhi dirinya, akan menolak keras Jokowi mundur. Begitu juga para pejabat lain yang dekat dengan dirinya.
Mereka akan mati-matian menjaga Jokowi agar tetap duduk manis di singgasananya. Bila Jokowi mundur, maka lingkar terdekatnya akan terguling semuanya. Mereka semua menyadari hal itu.
Kekuasaan memang manis. Bahkan banyak ahli yang menyatakan bahwa kekuasaan adalah nikmat tertinggi manusia. Dengan kekuasaan, diperoleh tepuk tangan, sanjungan, harta berlimpah, anak buah yang ‘manut’, keiginan terpenuhi dan berbagai kenikmatan duniawi lainnya.
Tapi disamping tepuk tangan, ada juga caci maki. Banyak kawan, banyak juga lawan. Presiden tentu menyadari itu semua.
Machiavelli dalam The Prince menyatakan manusia memiliki dua sifat dalam dirinya. Sifat manusia dan manusia dan sifat binatang. Sifat manusia adalah tulus, penyayang, baik dan pemurah. Sifat binatang adalah sifat yang tidak terpuji, seperti sifat jahat, kikir, bengis dan kejam.
Nasihat Machiavelli yang gawat adalah penguasa harus berani melakukan tindakan tidak terpuji asalkan itu menurutnya baik bagi negara dan kekuasaannya. The ends justify the means. Untuk mencapai tujuan, cara apapun bisa digunakan. (Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Darul Falah, 1999).
Jadi, kata Machiavelli, penguasa bisa menggunakan cara binatang dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Dalam The Prince, tokoh pemikir Barat itu juga mengatakan, penguasa bisa menjadi singa (lion) dan bisa menjadi rubah (fox) di saat lainnya.
Menghadapi musuhya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya. Di sisi lain seorang penguasa harus bersikap seperti rubah, agar tidak terperangkap musuh-musuhnya.
Menurut Machiavelli, penguasa ideal itu seperti Achilles (tokoh Yunani) yang belajar jadi penguasa dari Chiron. Chiron adalah makhluk berkepala manusia, berbadan dan berkaki kuda dalam mitologi Yunani kuno. Jadi penguasa, menurut Machiavelli, seorang penguasa harus memiliki watak manusia dan watak binatang pada saat yang sama.
Jadi, bila kini lawan-lawan politik ada yang dikenai pidana tanpa kesalahan yang berarti, mungkin istana sedang mempraktekkan politik ala Machiavelli ini.
Memang tokoh yang membahayakan bagi Jokowi saat ini adalah Habib Rizieq. Bila Rizal Ramli dan Amien Rais mendesak mundur hanya dengan kata-kata, Habib Rizieq bisa dengan pengerahan massa. Inilah yang menyebabkan Habib mesti harus dikerangkeng, meskipun tidak jelas kesalahannya.
HTI dan FPI harus dibubarkan. Karena dua organisasi Islam inilah yang solid dan dapat dipersatukan Habib Rizieq dalam sebuah aksi massa.
Istana ketakutan lautan massa 212 akan mengepung mereka kembali. Penguasa takut jutaan rakyat itu akan menduduki dan mengepung istana sewaktu-waktu. Inilah mungkin yang menjadi salah satu sebab kenapa kelompok oligarki istana ngotot ibukota negara harus dipindahkan ke Kalimantan.
Pemikiran Machiavelli ini luas pengaruhnya baik di Eropa, Rusia, Cina, Indonesia maupun Timur Tengah. Dan “akibat pemikiran ini’ ratusan juta orang terbunuh di dunia.
Sebagai Muslim, tentu kita tidak menerima pemikiran Machiavelli ini. Imam Ghazali seorang pemikir besar Islam, justru menasihatkan agar manusia menghindari sifat-sifat buruk dalam dirinya. Seorang Muslim, termasuk penguasa, harus bersikap adil, dermawan dan kasih sayang terhadap yang lainnya.
Seorang penguasa, adalah seseorang yang mendapat amanah dari Allah dan rakyatnya, untuk berbuat seadil-adilnya. Seorang penguasa dilarang berbuat zalim kepada rakyatnya.
Walhasil, apapun hitung-hitungan politiknya, Jokowi tidak boleh berbuat zalim kepada Habib Rizieq. Ia harus membebaskan Habib segera. Dan jangan menyangka Habib haus kekuasaan. Habib insyaallah akan bijak menghadapi Jokowi. Habib akan sabar menunggu pergantian kekuasaan sampai 2024.
Seandainya Habib ingin menggulingkan Jokowi, maka itu bisa dilakukannya pada aksi massa 212 pada 2016 yang lalu. Habib hanya ingin negeri ini damai, adil dan makmur.
Habib hanya ingin membangun organisasinya dan dapat berdakwah seluas-luasnya di negeri ini. Berbuat adillah dan sadarlah Presiden Jokowi. Wallahu azizun hakim.
Nuim Hidayat, Dosen Akademi Dakwah Indonesia Depok