DEMOCRAZY.ID - Mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan membongkar borok proyek kereta cepat dan menuai tanggapan pakar hukum tata negara Refly Harun.
Refly Harun mengaku tertawa (dengan nada satire) ketika menyimak penjelasan Ignasius Jonan terkait pernyataannya yang membongkar borok proyek kereta cepat.
Refly Harun menemukan adanya keanehan ketika proyek kereta cepat yang diklaim sebagai business to business antara Indonesia dan China justru dibuatkan Perpres untuk mengaturnya.
"Saya termasuk yang ketawa saja, dibilang business to business tapi ada Perpres-nya, dan Perpres itu menunjuk empat BUMN dengan porsi saham yang sudah ditentukan," kata Refly Harun sebagaimana dikutip dari kanal YouTube Refly Harun pada Senin, 1 November 2021.
Refly Harun membenarkan bahwa pemerintah telah menunjuk empat BUMN sebagai pelaksana proyek kereta cepat sekaligus pemegang saham PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC).
Dia mengatakan, setiap BUMN yang ditunjuk memiliki job desc masing-masing sesuai dengan investment agreement dan Pepres yang ditetapkan.
"Jadi yang ditunjuk adalah PT KAI karena terkait dengan kereta api, WIKA karena dia yang akan jadi kontraktornya, PTPN VIII karena diharapkan akan memberikan tanah Walini untuk transit oriented development (TOD), dan Jasa Marga karena ruas tolnya yang tadinya bisa untuk iklan dipakai," ujarnya.
Refly Harun mengaku tak habis pikir ketika Jokowi menyalahkan BUMN ketika dianggap tak beres dalam kinerjanya.
Padahal kata dia, proyek kereta cepat justru merupakan ambisi dari Presiden Jokowi sendiri.
"BUMN yang dijadikan kambing hitamnya, padahal ini memang ambisi pemerintah awalnya. Padahal kita tidak tahu apakah itu ambisi dari Kementerian BUMN ataukah ambisi dari Presiden Jokowi itu sendiri," katanya.
Refly Harun juga menyoroti terkait porsi kepemilikan saham Indonesia dan China di PT KCIC, setelah pemerintah memutuskan untuk lebih memilih bekerja sama dengan China dibandingkan Jepang.
Awalnya China hanya memiliki 40 persen saham di PT KCIC dan Indonesia melalui empat BUMN yang ditunjuk sebesar total 60 persen, akan tetapi konon katanya saat ini berbanding terbalik.
"Awalnya Jepang menginginkannya, China juga. Rupanya sepertinya Jepang lebih mahal, tapi sekarang nilainya (China) sudah lebih. Awalnya kepemilikan Indonesia 60 persen, China 40 persen, sekarang konon sudah terbalik," ujar dia.
Refly Harun menilai proyek kereta cepat sebagai buah simalakama, karena Indonesia dianggap sudah terjebak dengan perangkap China terlepas dari proyek tersebut dilanjutkan atau tidak.
"Jadi kereta api cepat ini adalah buah simalakama, dimakan mati ibu tidak dimakan mati bapak. Ada masalah-masalah yang sebenarnya kita harus cek lagi governance-nya. Sayangnya DPR nggak mau ngangket yang begini-begini, yang diangket KPK, yang diangket kepentingan-kepentingan pribadi mereka sendiri," tuturnya.
Eks Menteri Jonan Menolak Kehadiran Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tetap menolak keberadaan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Menurutnya, jarak Jakarta-Bandung terlalu pendek untuk perjalanan dengan kualitas kereta cepat.
Hal berbeda jika kereta cepat melayani rute jarak jauh semisal Jakarta-Surabaya.
Jonan menjelaskan, Jakarta-Bandung hanya memiliki jarak 150 Kilometer (Km), dan sepanjang jalur rencananya akan dibangun lima hingga delapan stasiun. Sehingga antar stasiun memiliki jarak sekitar 30 Km.
"Sekarang lihat kereta cepat itu akselerasinya dari 0 ke 300 Km itu butuh berapa waktu? Kalau Jakarta-Bandung itu total butuh 40 menit, berarti intervalnya tiap stasiun berapa? Kalau lima stasiun 8 menit. Kalau 8 menit antar stasiun, apa bisa dari velositas 0 sampai 300, saya kira enggak bisa," jelasnya di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Kamis (3/9).
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka Kementerian Perhubungan bersikap untuk menolak kehadiran kereta cepat Jakarta-Bandung.
"Kami (Kementerian Perhubungan) menyarankan tidak perlu pakai kereta cepat (untuk Jakarta-Bandung). Itu aja," tegasnya.
Namun, jika ada perusahaan yang siap untuk melakukan pembangunan dengan sistem business to business (B to B), Menteri Jonan mempersilakannya. Kementerian Perhubungan akan meninjau perizinannya.
"Perhubungan pasti mengeluarkan izin trasenya kemana? Izin soal pembangunannya bagaimana? Safetynya bagaimana?" ungkapnya.
Dia mengingatkan, jika sampai proyek tersebut akhirnya membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka tidak ada toleransi, proyek pembangunan akan ditutup.
"Kalau B to B tidak pakai APBN, tidak akan disubsidi. Tidak akan ada jaminan pemerintah. Kalau jebol (menggunakan APBN) ya ditutup aja (proyek pembangunannya)," tutup Jonan. [Democrazy/kabes]