DEMOCRAZY.ID - Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Di mana sistem demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam hal ini, artinya warga negara memiliki hak dalam pengambilan keputusan yang akan memengaruhi hidup mereka dalam sebuah negara.
Tapi, apakah Indonesia benar-benar negara "demokrasi"?
Dengan berbagai peraturan yang terkesan antikritik, di mana ini tidak menggambarkan nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya.
Dalam demokrasi seharusnya rakyat memiliki hak untuk mengkritisi kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah.
Mungkinkah ada sentuhan fasisme di dalam pemerintahan Indonesia?
Di mana ini terlihat dari peraturan yang terkesan otoriter dan wajib dipatuhi dan disetujui, tidak menerima kritik dari rakyat, bahkan dalam beberapa kasus rakyat dapat dijerat hukum karena mengkritisi kebijakan pemerintah.
Fasisme adalah sebuah istilah yang pertama kali digunakan di Italia oleh pemerintahan yang berkuasa tahun 1922-1924, dipimpin oleh Benito Mussolini.
Fasisme merupakan suatu sikap nasionalisme yang berlebihan sehingga kaum fasis memandang rendah bangsa lain.
Ciri khas dalam pemerintahan negara fasis adalah totaliter, kediktatoran, rasis, militeris, dan imperialis.
Negara fasis dalam pengorganisasiannya cenderung terkesan memaksa rakyatnya untuk selalu menerima semua kebijakan yang telah dikeluarkan oleh para kaum elite.
Dalam negara fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh elite di mana mereka menganggap bahwa kaum elite lebih paham tentang rakyatnya.
Bahkan fasis menolak pendapat bahwa rakyat dapat memerintah seperti negara yang menganut paham demokrasi.
Kaum fasis ini sama sekali tidak mengizinkan rakyatnya untuk memiliki pendapat lain tentang pemerintahan.
Rakyat selalu dipaksa untuk patuh dan setuju dengan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah, sekalipun kebijakan tersebut dirasa akan merugikan rakyat.
Bahkan ketika ada rakyat yang tidak setuju atau sependapat dengan pemerintahan, mereka akan dianggap sebagai musuh terbesar yang harus dimusnahkan.
Jelas memang Indonesia bukanlah negara fasis. Namun, dalam kegiatan pemerintahannya, apakah tidak terkesan fasis apabila kritik dari rakyat seperti tidak didengar?
Bahkan tidak sedikit juga yang harus diamankan aparat hanya karena mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Kasus 10 orang mahasiswa UNS Solo yang diamankan aparat karena membentangkan poster bertuliskan “Pak Tolong Benahi KPK” ketika ada kunjungan bapak presiden ke UNS Solo.
Ini merupakan sebuah fakta bahwa demokrasi di Indonesia tidak sebenar-benarnya demokrasi.
Yang dilakukan mahasiswa tersebut adalah bentuk ekspresi, di mana mahasiswa berupaya untuk mengkritisi kebijakan dari pemerintah. Namun, bukan tanggapan yang didapat melainkan pengamanan oleh aparat.
Sebelumnya juga pernah terjadi kasus BEM UI yang mengkritik presiden lewat poster di Instagram dengan menyebut Jokowi sebagai “The King Of Lip Service.”
Hal ini bahkan viral di berbagai sosial media. Pihak BEM UI sendiri mengatakan bahwa hal itu merupakan sebuah bentuk kritik terhadap presiden, karena dianggap banyak pernyataan yang tidak sesuai dengan realita.
Namun, pihak BEM UI justru malah mendapatkan panggilan dari rektorat untuk memberikan klarifikasi dan diminta untuk menghapus postingan tersebut.
Bahkan Instagram BEM UI sendiri berupaya diretas dan serangan digital melalui Whatsapp yang menghantui para pengurus BEM UI.
Selanjutnya juga ada kasus mural di mana hal ini merupakan bentuk baru sebagai upaya untuk mengkritisi kebijakan pemerintah.
Mural sendiri merupakan sebuah bentuk seni dengan menggambar di atas media dinding atau tembok ataupun media permanen lainnya.
Tidak sedikit kasus mural yang mengkritik pemerintah justru dihapus oleh aparat. Bahkan ada pembuat mural tersebut yang sampai dicari identitasnya oleh aparat setempat.
Mural ini merupakan sebuah media berekspresi yang baru, di mana mungkin orang-orang sudah merasa bingung harus mengkritik pemerintah lewat apa lagi. Bahkan demo sekalipun seakan-akan tidak didengar oleh para pemegang kekuasaan.
Jadi, mural ini menjadi sebuah media yang baru untuk mengekspresikan argumen atau pendapat tentang kebijakan pemerintah saat ini.
Tapi, reaksi dari aparat bahkan pemerintah daerah justru berbanding terbalik. Mereka justru menghapus mural-mural tersebut dan seakan-akan membungkam segala bentuk aspirasi dari rakyat.
Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah saat ini terkesan antikritik. Pemerintah terkesan ingin membungkam segala bentuk aspirasi dari rakyat.
Mereka seakan-akan menutup telinga dan mata mereka terhadap kritik dari rakyat. Bentuk kritik ini seakan-akan menjadi sebuah hal yang paling menakutkan, sehingga harus di tindak lewat aparat setempat.
Bukankah demokrasi seharusnya banyak mendengarkan aspirasi rakyat?
Atau memang benar ada sentuhan fasisme dalam pemerintahan negara kita saat ini?
Ini merupakan paham gelap di balik demokrasi Indonesia. Di mana dalam paham fasis, melawan kritik rakyat merupakan sebuah hal yang wajar.
Kritik rakyat dianggap tidak penting, bahkan dianggap menjadi musuh terbesar. Kritiknya ditakuti bahkan sampai dimusnahkan.
Kritik rakyat yang seharusnya banyak didengar di negara demokrasi tapi justru berbanding terbalik dalam pelaksanaannya.
Dari kesan pembungkaman kritik tersebut, seakan-akan pemerintah ingin rakyatnya untuk setuju dengan apa pun kebijakan yang dibuat.
Merasa seakan-akan semua kebijakan itu akan berdampak baik bagi semua lapisan masyarakat. Dan hal itu menjadi salah satu gambaran adanya sentuhan fasis dalam pemerintahan.
Memang tidak sepenuhnya negara ini fasis, tapi dari kasus-kasus yang sudah kita lihat bersama, seakan-akan hal itu menjadi jawaban bahwa adanya sentuhan fasis dalam pemerintahan Indonesia saat ini. [Democrazy/kmpr]