POLITIK

Sebut Pertemuan Koalisi Jokowi Potret Oligarki, Anggota DPD: Istana Bukan Kedai Kopi!

DEMOCRAZY.ID
September 02, 2021
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Sebut Pertemuan Koalisi Jokowi Potret Oligarki, Anggota DPD: Istana Bukan Kedai Kopi!

Sebut Pertemuan Koalisi Jokowi Potret Oligarki, Anggota DPD: Istana Bukan Kedai Kopi!

DEMOCRAZY.ID - DPR RI memberikan tanggapan terhadap pertemuan Presiden Jokowi dengan para pimpinan parpol koalisi di Istana Negara. 


Dalam pertemuan itu, pimpinan parpol banyak memberikan pujian kepada Jokowi.


Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha, mengatakan sebenarnya sah-sah saja jika pimpinan parpol koalisi memberikan pujian kepada Jokowi. 


Namun ia mempertanyakan mengapa pertemuan itu harus dilakukan di Istana.


"Di Istana, Jokowi adalah Presiden. Presiden bagi semua pihak dan semua parpol. Termasuk kalangan dan parpol yang mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah," kata Abdul dalam keterangannya, Kamis (2/9).


"Dengan statusnya sebagai Presiden bagi semua tersebut, maka seharusnya bukan hanya parpol pendukung saja yang semestinya diundang ke Istana. Parpol oposisi pun seharusnya diundang," tambah dia.


Abdul menuturkan, konsekuensi sebagai presiden, Jokowi seharusnya juga harus bisa menerima masukan dan kritik terutama dari oposisi. 


Sehingga petinggi parpol dari luar koalisi juga sudah seharusnya diterima di Istana.


"Lain hal sekiranya pertemuan perayaan itu diselenggarakan di kedai kopi, di penginapan, atau di lapangan terbuka. Bolehlah yang diundang hanya parpol pendukung saja," ucap Abdul.


Anggota DPD dari Sulawesi Tengah itu menilai, pertemuan Jokowi dan pimpinan parpol koalisi di Istana itu merupakan bentuk tidak proporsionalnya para elite koalisi dalam memposisikan diri. 


"Etika bertindak-tanduk selaku tokoh-tokoh pemimpin politik sudah tercecer sedemikian rupa. Pertemuan di Istana, tempat Jokowi menyambut para tamu koalisi dengan kapasitas sebagai Presiden, seolah menguatkan simpulan banyak pihak bahwa oligarki politik semakin menjadi-jadi di negeri ini," kata Abdul.


"Saya pun bertanya-tanya, show off kesolidan antara Presiden Jokowi dan sebatas para parpol pendukungnya itu ditujukan kepada siapa? Tidak relevan jika ditujukan ke parpol oposisi, mengingat hanya ada dua parpol yang berseberangan dengan penguasa," lanjut dia.


Abdul juga mempertanyakan apakah pertemuan di Istana itu merupakan tanggapan balik dari pemerintah terkait semakin marak mural di ruang publik. 


Belakangan banyak masyarakat di berbagai daerah mengkritik pemerintah melalui mural namun mendapat tindakan represif dari aparat. 


"Atau jangan-jangan itu cara mengompensasikan peran buzzer yang sudah terbaca permainannya dan tak lagi efektif memengaruhi masyarakat," ucap dia.


Abdul mengatakan, dirinya juga teringat dengan jelang tumbangnya Orde Baru dalam pertemuan petinggi parpol koalisi dengan Jokowi di Istana. 


Sebab, ketika itu banyak kelompok menemui Soeharto di Istana dan memberikan dukungannya.


"Sekian kelompok menemui Presiden Soeharto dan mengeklaim membawa pesan rakyat bahwa rakyat menginginkan Pak Harto menjabat sebagai presiden lagi. Angin sejuk bagi penguasa. Status quo berkelanjutan, seiring dilantiknya Pak Harto sebagai Presiden untuk periode berikutnya. Tapi angin langsung berbalik arah. Ombak tsunami menggulung, kapal penguasa pun binasa," tutur Abdul.


Lebih lanjut, Abdul mengingatkan meski parpol oposisi tinggal dua yakni PKS dan Demokrat, ia meminta pemerintah tidak lupa masih ada fraksi DPD di MPR RI. 


Menurutnya, fraksi DPD ada dalam posisi progresif dengan fatsoen politik berporos pada etos kenegaraan-kebangsaan, bukan kekuasaan.


"Kubu status quo tidak akan pernah menang melawan kubu progresif. Mereka yang ingin memanjang-manjangkan masa kekuasaan, termasuk lewat pengunduran jadwal pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden, pada akhirnya akan ditaklukkan oleh mereka yang ingin Indonesia dipimpin oleh sosok yang lebih kompeten dan berwatak negarawan," tutup Abdul. [Democrazy/kmp]

Penulis blog