DEMOCRAZY.ID - Isu perbedaan latar belakang pendidikan Jaksa Agung Burhanuddin mulai mencuat, sosok mantan Jamdatun ini kerap menuai kontroversi, usai kasus Pinangki Sirna Malasari kini dirinya dihadapan dengan ijasah kelulusan sarjananya, pasca mendapat gelar pengukuhan profesor.
Ini terungkap dari beredarnya perbedaan informasi profil pendidikan Burhanuddin dalam buku pidato pengukuhan profesor dan daftar riwayat hidupnya yang pernah dipublikasikan melalui media sosial Instagram @kejaksaan RI.
Namun di situs resmi Kejaksaan Agung dengan alamat https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=9&ids=47 masih kosong.
Sementara, mengutip buku pengukuhannya sebagai profesor di Universitas Jenderal Soedirman, disebutkan bahwa Burhanuddin merupakan lulusan sarjana hukum dari Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, Jawa Tengah tahun 1983.
Namun, dalam Instagram itu Burhanuddin disebut lulusan sarjana hukum Universitas Diponegoro tahun 1980.
Sementara untuk pendidikan pasca sarjananya, menyebut bahwa jaksa agung itu merupakan lulusan magister manajemen dari Universitas Indonesia (UI) tahun 2001.
Sedangkan di buku pengukuhan profesornya, Burhanuddin disebut lulus dari Sekolah Tinggi Manajemen Labora di DKI Jakarta tahun 2001.
Pada pendidikan doktornya, Burhanuddin mendapatkan gelar doktor di Universitas Indonesia (UI) tahun 2006.
Namun, dalam buku pengukuhan, ia merupakan lulusan Universitas Satyagama Jakarta tahun 2006.
Ketika dilakukan penelusuran dengan kata kunci ST Burhanuddin yang muncul di pangkalan data Dikti adalah seorang dosen di Universitas Satyagama Jakarta.
Sedangkan dengan kata kunci Sanitiar Burhanuddin tidak ditemukan.
Kalangan media mencoba menelusuri untuk konfirmasi ke pihak UI, kemudian ditelusuri data atas nama ST Burhanuddin sebagai lulusan magister manajemen UI tahun 2001.
Hasilnya, tidak ditemukan nama tersebut dalam database mereka. Yang muncul adalah Muhammad Ikhsan Burhanuddin lulusan magister manajemen angkatan 2018.
"Berikut datanya, dengan kata kunci Burhanuddin dan lulusan program studi magister manajemen. Hanya ada data atas nama Ikhsan Burhanuddin yang telah lulus pada tahun 2018," kata Humas Universitas Indonesia (UI), Mariana.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun pun menanggapi polemik ijazah milik ST Burhanuddin tersebut.
Ia mempertanyakan, informasi yang disebar oleh Kejagung maupun dalam buku tersebut asli atau tidak.
"Itu saja letak persoalannya," ujar Refly kepada wartawan, Kamis 23 September 2021.
Menurutnya, jika ijazah Strata Satu (S1) tidak asli, maka seluruh gelar harus dicopot. Presiden pun didesaknya harus memberhentikan Burhanuddin sebagai Jaksa Agung, karena telah melakukan pembohongan publik.
"Tapi ini kalau (tidak asli). Sekali lagi kalau (tidak asli). Karena itu harus diverifikasi secara sungguh sungguh kebenaran data yang bersangkutan," ujarnya.
Menurutnya, klarifikasi dari Burhanuddin pun tidak cukup, melainkan harus ada investigasi secara independen.
"Termasuk pernyataan dari institusi atau lembaga yang dituliskannya. Intinya harus dicari kebenaran materialnya," kata dia.
Terpisah, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan bahwa secara administrasi kepegawaian seharusnya ada verifikasi terkait latar belakang lulusan dan data-data resmi valid yang diakui sesuai Undang-undang untuk menjadi pejabat negara.
Menurutnya, bagian kepegawaian harus melakukan verifikasi kebenaran data.
"Karena kalau individu tidak berkualifikasi mempergunakan informasi palsu, maka ini sudah merupakan tindakan kriminal," ujar Doni.
Ia menyebut hal itu menjadi tidak adil bagi orang lain dengan kualifikasi sama tapi tidak terseleksi.
"Data di kepegawaian harus lengkap. MenPANRB, dan BKN harus menegur dan meminta klarifikasi untuk verifikasi tentang validitas data," katanya.
Doni mengatakan permasalahan data harus dilihat berat tidaknya kasus.
Apakah sekedar masalah administratif atau maladministrasi, pelanggaran terhadap integritas data.
"Karena dua kasus ini dampak-dampaknya berbeda," katanya.
Namun, ia menyebut bahwa kualitas lulusan tidak terkait dengan asal almamaternya, karena kualitas sifatnya individual.
"Tapi kalau data individu sebagai alumni dipertanyakan, artinya hasil belajar dan kompetensinya juga dipertanyakan," lanjutnya.
Menurutnya, jika terbukti adanya pemalsuan data maka ST Burhanuddin tidak sah menjabat sebagai Jaksa Agung.
"Kalau terbukti terjadi pemalsuan data, maka jabatan sekarang harus dinyatakan tidak sah dan dibatalkan karena tidak memenuhi persyaratan," ujarnya.
Sedangkan, pihak Universitas Diponegoro ketika dikonfirmasi mengenai data ST. Burhanuddin menyarankan untuk mengaksesnya data pusat.
"Soalnya data itu biasanya di pusat. Saya hanya di fakultas," kata Humas Undip, Nuswantoro. [Democrazy/brsub]