DEMOCRAZY.ID - Belum lama ini efek mundurnya Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin ternyata "berdampak" ke Indonesia.
Setidaknya para oposisi dan pakar di Tanah Air ikut menyoroti PM Malaysia yang secara sadar mundur karena dinilai gagal menangani Covid-19.
Muhyiddin resmi mundur sebagai Perdana Menteri Malaysia usai mengajukan surat pengunduran diri kepada Raja Sultan Abdullah Alam Ahmad Shah pada Senin, 16 Agustus 2021.
Dengan pemberitaan yang menyedot perhatian publik tersebut, Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun ikut memberi pandangannya.
Dia melihat mundurnya Muhyiddin Yassin bukan karena kesadaran sendiri semata.
Kata Reflu Harun justru tekanan oposisi dan publik sangat besar dalam kasus mundurnya Muhyiddin.
"Itu karena terus menerus dikritik selama penanganan Covid-19. Malaysia dinilai parlemen gagal dan buruk dalam menghadapi Covid-19," katanya di YouTube Refly Harun pada Selasa, 17 Agustus 2021.
Terkait mundurnya PM Malaysia ini, lantas Refly Harun menjelaskan beda cara pengunduran diri kepala negara di Malaysia dan Indonesia.
Kata dia, sistem pemerintahan Indonesia dengan Malaysia berbeda.
Malaysia menganut sistem parlementer. Sehingga harus mendapat dukungan penuh dari parlemen.
Misal kata dia, jika kepala negara ngotot tidak mau mundur, tapi kabinetnya menghendaki kepala negara berhenti, maka kabinet bisa bubar.
"Jadi walaupun misalnya perdana menteri ngotot tidak mau mundur, tapi kalau anggota kabinetnya bubar, ya bubar juga," ucapnya.
Seorang kepala negara harus memiliki dukungan kuat mayoritas parlemen. Jika tidak ada yang mendukung atau dukungan berkurang maka secara politik akan runtuh.
"Jika dia kehilangan dukungan dari mayoritas parlemen bubar juga," kata dia.
Akan tetapi, Refly Harun mengungkap ada kelebihan jika negara menerapkan sistem parlementer.
"Jika perdana menterinya hebat dan terus mendapat kepercayaan, maka bisa berkuasa puluhan tahun. Dengan catatan harus selalu mendapat dukungan penuh parlemen," ujarnya.
Namun, hal paling mengerikan pada sistem in, tindak pidana korupsi akan makin sulit dihukum.
"Kurangnya, negeri yang korupsinya banyak dari anggota parlemennya bisa dibeli, ya berat memang," tambah dia.
Di sisi lain, pemerintahan yang menganut sistem presidensial, Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
"Tidak mungkin ada perselisihan dengan raja. Mungkin adalah kontrol dari parlemen, tapi parlemen tidak langsung juga," tutur dia.
Jelas Refli, tidak anggota parlemen menyatakan mosi tidak percaya, lalu presidennya mundur.
Meski memiliki TAP MPR, akan tetapi kata Refly, jika sudah tidak dipercaya oleh rakyat ya mundur.
"Tidak usah ngomong-ngomong lagi," bebernya.
Dia lantas berpandangan, Indonesia belum mencapai budaya negara yang belum menjunjung etika. Sehingga ada perasaan dan keinginan jika seandainya gagal atau berhasil.
"Indonesia masih melihat kekuasaan itu segala sebuah sumber kenikmatan," kata dia.
"Sehingga siapa yang berkuasa maka semutnya banyak datang ke gula-gula kekuasaan tersebut," ujar dia. [Democrazy/dtr]