DEMOCRAZY.ID - "Prank" donasi Rp2 triliun untuk penanganan COVID-19 dan kesehatan di Sumatera Selatan oleh keluarga almarhum Akidi Tio berakhir dengan kekecewaan.
Ternyata, uang Rp2 triliun yang didonasikan melalui Kapolda Sumsel Irjen Pol Eko Indra Heri itu hanyalah pepesan kosong.
Ya, uang itu tidak ada dan kini, putri bungsu Akidi, Heriyanti, telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tersebut.
Menengok ke belakang, "prank" kedermawanan yang mengecoh khalayak luas semacam ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia.
Pada tahun 2019 lalu, misalnya, ada sosok pendiri Mayapada Group, Dato Sri Tahir, yang disebut oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) berbohong atas janjinya membantu korban bencana gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Palu, Sulawesi Tengah.
Saking geramnya, JK bahkan meminta agar gelar kehormatan Mahaputera Naraya yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada Dato Sri pada 5 Agustus 2018, dicabut.
"Ke mana-mana karena isu hebat menderma, yang janji kiri-kanan tapi tidak ada realisasinya. Sudah janji (bangun) 1.500 rumah, yang diakuinya cuma 100," kata JK kala itu.
Dato Sri disebut-sebut berjanji akan menyumbang perbaikan 1.500 rumah di Lombok Utara dengan nilai Rp45 miliar.
Karena janjinya itu, Dato Sri pun disebut-sebut sebagai filantrop yang sangat baik hati.
"Di NTB lebih parah lagi, orang yang sudah dielu-elukan karena merasa hebat menyumbang kiri-kanan, mau ajukan (bangun) rumah, ajukan apa, disambut oleh gubernur, panglima. Aduh, itu bohong semuanya, merasa hebat tapi tidak ada buktinya," JK menambahkan.
Tak cuma itu, sebelum gempa bumi itu meluluhlantakkan Palu dan Lombok, Dato Sri juga mengumbar aksi filantropi melalui pers, mengklaim dirinya sebagai sosok yang menderma secara sukarela.
Prank-Prank Lain
Mundur lagi ke belakang, pada media 1950-an, Presiden Soekarno pun pernah kena "prank".
Adalah Raja Idrus dan Ratu Markonah yang mengibulinya.
Waktu itu, sejoli licik itu mengklaim diri mereka sebagai raja dan ratu Suku Anak Dalam yang berada di pedalaman hutan di Jambi.
Mereka mengaku bisa membantu Bung Karno dalam hal pembebasan Irian Barat. Mereka pun disambut sebagai tamu istimewa di Istana Negara.
Belakangan terungkap, mereka berdua adalah pengibul. Raja Idrus ternyata adalah pengayuh becak dayung, sedangkan Ratu Markonah adalah pelacur murahan di Tegal, Jawa Tengah.
Zaman Orde Baru Soeharto pun tak luput dari "prank" publik.
Waktu itu ada skandal 'Bayi Ajaib', ulah perempuan bernama Tjoet Zahara Fonna. Bayi dalam kandungannya bisa bicara dan mengaji. Masyarakat satu Indonesia pun geger.
"Wapres Adam Malik pun kena prank itu. Ternyata 'Bayi Ajaib' adalah modus penipuan pertama kali di Tanah Air yang menggunakan perangkat tehnologi baru pada masanya. Yaitu tape recorder. Alat itu ditaruh pelaku di perutnya. Ditutup dengan baju hamil yang tebal," tulis jurnalis Ilham Bintang di Facebook.
Agak ke sini, ada mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar, yang juga kena "prank" soal emas batangan sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran yang tersimpan di bawah Prasasti Batutulis, Bogor.
Kehebohan baru berakhir setelah kegirangan Said Aqil dipatahkan oleh Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat sebagai Menko Kesra.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di era SBY, Purnomo Yusgiantoro, pun pernah kena "prank".
“Bapak Presiden, sebentar lagi Indonesia akan memiliki tiga kilang minyak baru. Dua di antaranya di kampung Pak Wapres JK, yakni di Pulau Selayar dan Parepare," kata Purnomo kepada SBY saat itu. [Democrazy/idz]