DEMOCRAZY.ID - Sudarnoto Abdul Hakim, Peneliti dan Pengamat Luar Negeri dari FAH UIN Jakarta mengatakan Indonesia (RI) memiliki peluang kerja sama dengan Afghanistan yang dipimpin Taliban.
Hal ini sepanjang Taliban sejalan dengan cita-cita RI dalam mewujudkan kemerdekaan dan mendukung penghapusan penjajahan sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945.
Menurutnya soal pengambilan kekuasaan oleh Taliban, itu urusan internal di negara tersebut. RI sendiri selama ini menganut prinsip non-interferensi.
“Soal pengambilan kekuasaan oleh Taliban, itu urusan internal mereka. Politik luar negeri kita harus berbasis kpd ‘non-interference principles’ nggak boleh ikut campur. Biar mereka selesaikan persoalan internal politik mereka,” kata Sudarnoto, Selasa (17/8/2021).
Sudarnoto mengatakan Indonesia berpeluang untuk mainstreaming wasotiyatul Islam sekaligus menjalin kerjasama yang saling menguntungkan di berbagai bidang dengan Afghanistan yang dipimpin Taliban.
Menurut ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri itu, politik luar negeri RI disamping menganut non-interference principles juga membangun kemaslahatan bersama.
RI harus hormati politik yang terjadi di Afghanistan, sepanjang tidak mengganggu stabilitas kawasan, termasuk di asia tenggara
“Kita, Indonesia, hemat saya negeri muslim yang bisa menjadi sumber inspirasi bagi pemerintah Taliban,” ujarnya.
Menurutnya pemerintah Taliban sekarang jauh lebih moderat, terbuka dan menjunjung tinggi HAM dan demokrasi plus Islam.
“Bukan Taliban lama, ini new Taliban,” ujarnya.
Indonesia punya peran untuk ikut mendorong Taliban menguatkan wasotiyatul Islam.
Menurut Sudarnoto, prinsip wasotiyah ini penting dibangun dan diperkuat tidak saja untuk kepentingan Afghanistan agar tidak lagi terbentur bentur dalam konflik sekaligus melakukan konsolidasi politik yang firm.
“Prinsip wasotiyah, berarti pemerintah Taliban harus menyiapkan diri untuk semakin terbuka dengan dunia yang lebar,” ujarnya.
Taliban menurutnya sekarang akan semakin menyadari bahwa "menjadi terbuka" sebagai anggota komunitas global adalah penting.
Faktor ekonomi misalnya akan mendorong atau memaksa pemerintah Taliban untuk mengubur ekstrimisme dan menghargai aturan pergaulan internasional.
“Ini bisa menjadi momentum penting bagi "a new era of the new Taliban" jika tidak, maka Afghanistan akan terkucil atau dikucilkan oleh masyarakat internasional dan besar kemungkinan miskin,” ujarnya.
Menurutnya Amerika Serikat (AS) memang berjasa membuka jalan bagi Taliban untuk menyempurnakan misi politiknya.
Sebagai negara besar, AS pernah membantu membebaskan Afghanistan dari Rusia misalnya beberapa tahun silam.
AS memberikan Taliban hak atas Afghanistan, termasuk memimpin kembali Afghanistan.
“Taliban pasti berterima kasih ke AS yang telah memuluskan jalan,” ujarnya.
Menurutnya Amerika sendiri juga punya alasan kuat untuk hengkang dari Afghanistan tanpa pamit dengan pertimbangan geopolitik.
“Jadi (AS) nggak mau berhadapan langsung dengan "musuh"nya, yaitu China. China itu sangat berkepentingan dengan Afghanistan. Jika Amerika bertahan terus di Afghanistan, tidak akan menyehatkan bagi Amerika sendiri dan Afghanistan. Apalagi keduanya (Taliban dan Amerika) pernah terikat dengan satu perjanjian,” ungkapnya. [Democrazy/kmp]