DEMOCRAZY.ID - Pendiri Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti mengkritik keras upaya kepolisian yang mengepung kantor Sekretariat PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan saat hendak melakukan demonstrasi ke Istana Negara pada Jumat (6/8).
Menurutnya, upaya tersebut memperlihatkan kultur demokrasi yang semakin memburuk selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam dua tahun terakhir.
Ray beranggapan, hal tersebut hanya bisa ia dapati saat rezim Orde Baru berkuasa.
"Kemarin kawan-kawan, anak-anak HMI berencana mau ke Istana Negara. Belum apa-apa, di depan kantornya sudah diadang oleh polisi. Itu cuma di rezim orde baru, seperti itu terjadi," kata Ray dalam sebuah diskusi webinar secara daring pada Sabtu (7/8).
Diketahui, polisi mengklaim bahwa penjagaan di sekitar sekretariat itu dilakukan karena unjuk rasa yang hendak dilakukan tidak memiliki izin.
Ray yang merupakan mantan aktivis 98 itu merasa bahwa upaya tersebut memang banyak dijumpai olehnya ketika hendak melakukan unjuk rasa.
Misalnya, kata dia, kampus-kampus bagi para mahasiswa yang hendak berdemonstrasi sudah dikepung oleh polisi sebelum aksi itu dapat terlaksana.
"Itu kurang lebih sama. Jadi perlindungan hak, kemudian kebebasan akademik. Kebebasan berpikir, kebebasan bertindak, kemudian transparansi, pemberantasan korupsi kita sedang mengalami penurunan sekarang," tambah dia.
Dalam diskusi itu, dia menyoroti bahwa saat ini agenda perjuangan yang perlu digelorakan bukanlah untuk menciptakan sebuah reformasi baru di Indonesia.
Namun, kata dia, perlu untuk memastikan agar jangan sampai reformasi yang sudah dicapai dahulu makin terdegradasi.
Dalam diskusi itu, Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Leon Alvinda Putra juga mengamini bahwa kebebasan berdemokrasi saat ini dirasanya semakin tergerus.
"Yang terjadi sebaliknya. Saya mau bercerita ketika kita berbicara terkait dengan tadi penyempitan ruang demokrasi," ucap Leon.
Leon lantas menceritakan kisahnya saat mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI se-Jabodetabek hendak melakukan aksi unjuk rasa bersama dengan serikat buruh pada 1 Mei lalu.
Mahasiswa, kata dia, dilarang polisi untuk ikut aksi karena bukan merupakan golongan buruh yang tengah melakukan unjuk rasa tersebut sebagai bagian dari hari buruh.
"Jadi kami yang massa bareng buruh itu tiba-tiba mahasiswa itu ditekan sama Polda Metro Jaya itu disekat. Jadi diberhentikan, ini buruh, ini mahasiswa, tiba-tiba polisi masuk. Diberhentikan kemudian dikelilingi, dipepet jadi kita tidak bisa jaga jarak," kata dia.
Kala itu, dia melihat rekan-rekannya mahasiswa yang diperlakukan secara kasar oleh aparat kepolisian.
Padahal, menurut dia, polisi tak memiliki kewenangan untuk melakukan penyekatan dan membubarkan mahasiswa yang hendak berdemonstrasi bersama dengan serikat buruh tersebut.
"Pertama katanya karena ini ini hari buruh, kalian mahasiswa bukan. Kami balas, saya sendiri yang jawab 'Coba bapak sebutkan peraturan mana yang melarang mahasiswa demo di hari buruh'. Tidak bisa dijawab," ujarnya.
Menurutnya, polisi berdalih bahwa unjuk rasa tersebut kemudian mengabaikan protokol kesehatan. Padahal, dari sudut pandang Leon polisi lah yang membuat mereka tersekat sehingga tak bisa saling menjaga jarak.
Upaya-upaya kepolisian tersebut kemudian berlanjut hingga akhirnya beberapa mahasiswa dibawa ke Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan.
Peristiwa serupa, kata dia, juga terjadi pada 3 Mei 2021 saat mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kemendikbud untuk memberikan referensi dan kajian kebijakan terkait kampus yang dinilainya represif.
Mahasiswa, kata dia, telah memperhatikan protokol kesehatan namun pada akhirnya tetap ditangkap oleh kepolisian.
Belum lagi, lanjutnya, terkait upaya gangguan digital seperti doxing dan juga pemesanan makanan secara daring yang kemudian menyulitkan mahasiswa itu sendiri.
"Hal-hal seperti ini terjadi dan teman-teman mahasiswa selalu bersolidaritas, selalu berkonsolidasi bersama, berjuang bersama," ucapnya. [Democrazy/sdr]