DEMOCRAZY.ID - Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengikuti terapi sel dendritik, Jumat (30/7).
Moeldoko menuai kritik karena hingga kini terapi ini tak mendapatkan izin untuk melanjutkan uji klinis oleh BPOM.
Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, adalah salah satu yang ikut menanggapi hal ini.
Menurutnya, keputusan Moeldoko disuntik sel dendritik yang dulunya disebutb vaksin Nusantara adalah hak individu, tetapi disayangkan karena hal ini bisa memberi dampak kurang baik kepada masyarakat.
“Kita harus sadar sebagai masyarakat lebih pakai nalar kritis. Bahwa sebetulnya pejabat ada tanggung jawab moral, ya itu harapan kita. Tapi juga ada hak ini invidunya memilih, itu kita hargai saja. Namun, yang jelas dalam situasi ini semua pejabat publik hendaknya mengikuti apa yang menjadi pakem prosedur ilmiah,” kata Dicky, Minggu (1/8).
Menurut dia, sikap Moeldoko ini malah merugikan pemerintah.
Sebab, pemerintah sendiri yang tak 'merestui' terapi sel dendritik yang diinisiasi eks Menkes Terawan Agus Putranto ini.
“Karena kalau itu tidak dipakai ya akan merugikan dari sisi pemerintah juga, karena mencerminkan atau mewakili pemerintah. Enggak bisa tidak. Sulit, kecuali warga biasa. Dan ini kan satu sikap yang untuk membangun trust publik, [untuk] mematuhi setiap strategi yang terbukti secara science,” imbuh dia.
Selain itu, Dicky berpendapat terapi sel dendritik masih berbahaya untuk bisa disuntikkan kepada publik. Bahkan melanggar etika.
“Ya kalau saya sebagai peneliti, menurut saya kalau belum selesai tahapannya ya berbahaya, jelas. Kecuali yang bersangkutan menjadi salah satu uji, relawan, ya itu beda lagi. Pasti sudah tahu konsekuensinya. Tapi kalau diberikan ke luar itu melanggar etika riset. Indonesia kan punya aturan riset,” terang dia.
Setelah tak mendapat restu BPOM, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Staf AD Jenderal TNI Andika Perkasa, dan Kepala BPOM Penny K. Lukito telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) terkait penelitian sel dendritik pada Senin (19/4).
MoU ini menyepakati penelitian berbasis sel dendritik di RSPAD Gatot Subroto untuk pengobatan COVID-19, bukan lanjutan uji klinis fase II penelitian vaksin Nusantara.
Penelitian juga bersifat autologus. Artinya, penelitian hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri sehingga tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar.
Sehingga, Moeldoko memang bisa saja disuntik sebagai pasien yang menerima perawatan COVID-19.
Kendati demikian, Dicky berpendapat tetap harus ada penjelasan yang terbuka kepada publik bagaimana pengawasan dan pengaturan terkait hal itu.
“Itu juga ada aturannya, menentukan etika, batasan-batasannya dan ini yang ini yang harus diketahui dan disampaikan terbuka,” tambah dia.
Oleh sebab itu, Dicky menyayangkan kalau masih ada pejabat yang mau mengikuti terapi sel dendritik ini.
Menurut dia, ini bisa menjadi sebuah kampanye negatif untuk masyarakat Indonesia.
“Mau testimoni banyak, kalau tidak ada riset, jurnal yang direview, itu tidak memenuhi kriteria. Itu bahaya ketika belum terpenuhi kemudian dikonsumsi publik, apalagi ini tokoh-tokoh masyarakat atau pejabat publik,” ujar dia.
“Ini akan memberikan pendidikan yang buruk ke publik, sebetulnya ke dunia juga. Seperti terkesan tidak mematuhi. Kita punya prosedur itu banyak, tapi kok terkesan tidak mematuhi. Ini kan jadi kampanye negatif,” tandasnya. [Democrazy/dtk]