DEMOCRAZY.ID - Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Karyoto menungkapkan kendala pihaknya mengusut kasus megakorupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP.
Karyoto mengatakan, penyebabnya lantaran banyak saksi yang berada di luar negeri.
"Banyak dari kemarin yang beberapa orang masih tinggal di Singapura," ucap Karyoto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (12/8/2021).
Kondisi pandemi COVID-19 sekarang ini, imbuh Karyoto, juga membuat penanganan kasus e-KTP terkendala.
Soalnya, dengan adanya berbagai pembatasan, tim komisi antikorupsi kesulitan untuk menjemput saksi-saksi yang berada di luar negeri untuk dimintai keterangan.
"Kondisi masih seperti ini, kami masih belum bisa pergi ke luar negeri, yang dari sana juga belum bisa ke sini," kata dia.
Meski demikian, Karyoto mengaku telah meminta keterangan saksi lewat surat elektronik alias email. Namun, hal tersebut belum cukup.
KPK, dikatakan Karyoto, perlu memeriksa saksi secara tatap muka.
"Artinya, secara komunikasi mungkin hanya per email saja," kata Karyoto.
Diketahui, pada Agustus 2019 silam, KPK menetapkan empat tersangka baru dalam kasus rasuah e-KTP.
Keempat tersangka baru itu adalah mantan anggota DPR Miryam S Hariyani; Direktur Utama Perum PNRI yang juga Ketua Konsorsium PNRI, Isnu Edhi Wijaya; Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, Husni Fahmi; serta Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos.
Dalam kasus ini, PT Sandipala Arthaputra yang dipimpin Tannos diduga diperkaya Rp145,85 miliar; Miryam Haryani diduga diperkaya 1,2 juta dolar AS; manajemen bersama konsorsium PNRI sebesar Rp137,98 miliar dan Perum PNRI diperkaya Rp107,71 miliar; Husni Fahmi diduga diperkaya senilai 20.000 dolar AS dan Rp10 juta.
Dalam kasus ini, peran Isnu Edhi Wijaya adalah berkongkalikong dengan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan PPK Kemendagri Sugiharto dalam mengatur pemenang proyek.
Isnu meminta agar perusahaan penggarap proyek ini nantinya bersedia memberikan sejumlah uang kepada anggota DPR dan pejabat Kemendagri agar bisa masuk dalam konsorsium penggarap e-KTP.
Adapun konsorsium itu adalah Perum PNRI, PT Sandipala Arthaputra, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, dan PT Sucofindo.
Adapun pemimpin konsorsium disepakati berasal dari BUMN yaitu PNRI agar mudah diatur karena dipersiapkan sebagai konsorsium yang akan memenangkan lelang pekerjaan penerapan e-KTP.
Sementara Husni, yang juga ketua panitia lelang diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor. Dia berkonglikong dengan Irman, Andi Agustinus dan Sugiharto.
Dalam pertemuan tersebut, Husni diduga ikut mengubah spesifikasi, rencana anggaran biaya, dan seterusnya dengan tujuan mark-up.
Atas arahan Irman, dia juga mengawal tiga konsorsium proyek yakni PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera.
Dia diduga tetap meluluskan tiga konsorsium meskipun ketiganya tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan hardware security modul (HSM) dan key management system (KMS).
Tannos juga diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan Husni selaku ketua panitia lelang dan Isnu serta pihak-pihak vendor. Pertemuan di sebuah ruko di Jakarta Selatan ini digelar jauh sebelum proyek ini dilakukan.
Pertemuan-pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih dari 10 bulan itu menghasilkan beberapa output di antaranya adalah standard operating procedure (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) yang ditetapkan oleh Sugiharto selaku PPK Kemendagri.
Tak hanya itu, Tannos juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem dan Isnu untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5%.
Atas perbuatannya, semua tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. [Democrazy/kmp]