DEMOCRAZY.ID - Pengamat politik, Rocky Gerung kembali membuka suara terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden Indonesia menjadi tiga periode.
Mulanya, Rocky membahas mengenai pepatah dari suku Baduy mengingat dalam Sidang Tahunan MPR RI pada Senin, 16 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan pakaia khas Baduy berwarna hitam lengkap dengan ikat kepala, tas dan sandalnya.
“Di Baduy itu ada pepatah mengatakan, ‘yang panjang jangan dipotong, yang pendek jangan disambung’, nah kalau di istana berlaku prinsip ‘perpanjang kekuasaan, perpendek akal sehat’, gitu,” ujarnya dilansir melalui Youtube Rocky Gerung Official, Selasa, 17 Agustus 2021.
Rocky kemudian menyoroti pernyataan Jokowi sewaktu menyebut bahwa dirinya akan mematuhi konstitusi yang berlaku mengenai jabatan presiden.
Lantas Rocky menilai ucapan Jokowi sama saja seperti akan berakal bulus dengan konsitusi.
“Tegak lurus dengan konstitusi, artinya akal bulus dengan konstitusi, itu idenya begitu kan,” tuturnya.
Ahli filsuf ini juga menganalisa bahwa pemain utama politik saat ini tengah mencari keuntungan melalui pandemi Covid-19.
“Dan memang dari awal kita tahu, semua pemain politik utama yang besar-besar ini ingin dapat keuntungan dari Covid,” katanya.
Sehingga tak heran jikalau pandemi Covid-19 berakhir masih lama, bahkan tujuh tahun lagi.
“Oleh karena itu akan diperpanjang seolah-olah Covid masih akan sampai tujuh tahun lagi,” imbuhnya.
Rocky menduga kekuasaan saat ini memanfaatkan kematian orang akibat Covid-19 dan mengubah statistic bahwa Indonesia belum bisa terbebas dari wabah tersebut
“Jadi bayangkan bahwa kekuasaan itu berpikir memanfaatkan kematian orang tuh, itu dengan kata lain akan disulap statistik bahwa Indonesia belum bisa lepas dari Covid,” ungkapnya.
Namun tak menutup kemungkinan juga bahwa virus tersebut kembali ‘diundang’ masuk agar pemerintah memiliki alasan untuk melanggar konstitusi.
“Atau sengaja diperpanjang Covid-nya, virusnya diundang masuk lagi tuh. Supaya ada alasan untuk melanggar konstitusi,” tandasnya.
Mantan dosen Universitas Indonesia (UI) ini menyayangkan karena saat Indonesia memasuki usia ke-76, etika politik bangsa malah hancur dan mengalami pembusukan dalam moralitas politik.
“Jadi kita menduga bahwa etika politik kita betul-betul hancur, justru ketika kita merayakan 76 tahun, kita mengalami pembusukan di dalam soal moralitas politik,” jelasnya.
Hal ini, sambungnya, yang berbahaya bagi bangsa karena dikekola oleh ketidamampuan berpikir dan ambisi berlebih dari kekuasasaan.
“Ini bahayanya sebuah bangsa yang dikelola oleh ketidakmampuan berpikir dan ambisi kekuasaan yang berlebih itu,” pungkasnya. [Democrazy/dtk]