DEMOCRAZY.ID - Guru Besar Bidang Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Profesor Sulfikar Amir menanggapi perihal pernyataan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Stafsus Mensesneg) Faldo Maldini terkait polemik mural wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Diketahui, melalui akun Twitter pribadinya @FaldoMaldini mengatakan gambar mural tersebut tidaklah salah.
Namun yang menjadi persoalan dari mural tersebut ialah karena tidak memiliki perizinannya.
“Jadi, mural itu, ga salah. Kalau ada ijinnya. Kalau tidak, berarti melawan hukum, berarti sewenang-wenang. Makanya, kami keras. Ada hak orang lain yang dicederai, bayangkan itu kalau tembok kita, yang tanpa ijin kita. orang yang mendukung kesewenang-wenangan, harus diingatkan,” kata Faldo Maldini dilansir dari akun Twitter @FaldoMaldini pada Sabtu, 14 Agustus 2021.
Menanggapi pernyataan tersebut, Guru Besar asal NTU, Sulfikar Amir lantas buka suara.
Melalui akun Twitter pribadinya @sociotalker, Sulfikar Amir lantas mengatakan lebih baik jujur terkait alasan sebenarnya mural berwajah Jokowi dipermasalahkan.
“Sebenarnya bilang terus terang aja kyk gini: ‘mural yg menjelekkan presiden jokowi itu salah dan dilarang’ gapapa toh…..jadi masy tahu apa yg sebenarnya dilarang,” ujarnya.
Tak berhenti disitu, dalam unggahan lainnya Guru Besar asal NTU tersebut juga menilai bahwa pemerintahan Jokowi perlu diberikan pemahaman lebih soal seni jalanan.
“Btw, rejim ini emang perlu dikasi pemahaman yg lebih dalam soal street art," terangnya.
"Justru semakin ditekan dan dipersempit geraknya, street art bakal semakin ‘liar’ dan meluas pergerakannya,” katanya.
Untuk itu, Sulfikar Amin lantas memberikan saran kepada Faldo Maldini agar menyampaikan kepada atasannya untuk merangkul seni jalanan sebagai bagian dari demokrasi.
Terlebih menurutnya, street art tidak perlu dilarang dengan alasan hukum karena ia menilai hal itu akan semakin memperjelas kecendrungan otoriterisme Jokowi.
“Saran saya bro @FaldoMaldini adalah untuk memberitahu bosnya untuk merangkul seni jalanan sebagai bagian dari kontrol demokratis kekuasaannya," terangnya.
"Gak perlu pake dilarang2 dgn alasan hukum dsb krn cuma memperjelas kecenderungan otoritarianisme pakde,” ujarnya. [Democrazy/rep]