HUKUM

76 Tahun RI Merdeka, Amnesty Internasional: Kebebasan Berpendapat Belum Terlindungi!

DEMOCRAZY.ID
Agustus 16, 2021
0 Komentar
Beranda
HUKUM
76 Tahun RI Merdeka, Amnesty Internasional: Kebebasan Berpendapat Belum Terlindungi!

76 Tahun RI Merdeka, Amnesty Internasional: Kebebasan Berpendapat Belum Terlindungi!

DEMOCRAZY.ID - Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 pada 17 Agustus 2021, Amnesty International Indonesia menyoroti kebebasan berpendapat di Indonesia yang masih terancam. 


Terutama dengan adanya pasal karet di Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik.


“Indonesia sudah merdeka selama 76 tahun, namun hak warganya atas kebebasan berekspresi masih belum sepenuhnya terpenuhi dan terlindungi,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena lewat keterangan tertulis, Senin, 16 Agustus 2021.


Amnesty mencatat sepanjang 2020 ada 132 132 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 156 korban, di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis. 


Sementara selama tahun 2021 sudah terjadi 56 kasus serupa dengan total 62 korban.


Salah satu kasus terbaru adalah tuduhan pencemaran nama baik terhadap Stevanus Mimosa Kristianto, Ketua Umum Serikat Pekerja Perjuangan salah satu bank swasta di Indonesia. 


Pada Februari 2019, Kristianto dan kurang lebih 50 orang lainnya melakukan demonstrasi untuk memprotes PHK yang mereka anggap sepihak. Orasi Kristianto dalam demonstrasi tersebut diliput oleh beberapa media online. 


Pihak bank melapor ke Polda Metro Jaya. Polda Metro menetapkan Kristianto menjadi tersangka kasus UU ITE.


Kasus lainnya menimpa Stella Monica, seorang konsumen dari Surabaya, Jawa Timur. 


Stella dituduh melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE karena mengunggah postingan pada tanggal 27 Desember 2019 yang berisi keluhannya tentang iritasi kulit yang dia alami setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan di Surabaya.


Klinik kecantikan tempat Stella berobat merasa namanya telah dicemarkan dan melaporkan Stella ke pihak berwenang dan menuduh Stella telah melakukan pencemaran nama baik mereka dan melanggar UU ITE. 


Saat ini Stella masih dalam proses persidangan dan apabila terbukti bersalah Stella diancam hukuman empat tahun penjara atau denda paling banyak tujuh ratus lima puluh juta.


Kriminalisasi dengan UU ITE juga menimpa Soon Tabuni dari Papua. 


Ia menjalani proses hukum terkait dengan postingan di Facebook pada Mei 2020 soal penembakan dua tenaga medis di Intan Jaya dan dua mahasiswi di Timika. 


Soon menuliskan bahwa orang yang bertanggung jawab atas insiden itu adalah Kapolda Papua.


Sementara M Asrul, seorang jurnalis di Palopo, Sulawesi Selatan, dituduh melakukan pencemaran nama baik karena menulis berita tentang dugaan korupsi proyek besar di Palopo pada bulan Mei 2019 lalu. 


Saat ini Asrul sedang menjalani proses persidangan. Jika terbukti bersalah, Asrul terancam dipidana penjara hingga 10 tahun. 


“Kasus mereka hanyalah sebagian kecil dari ratusan kasus di mana hak warga untuk mengekspresikan pendapatnya secara damai dilanggar dengan menggunakan UU ITE,” kata Wirya.


Melalui kampanye penulisan surat bertema Pesan Perubahan atau PENA yang diluncurkan pada bulan Agustus, Amnesty mengajak publik menyuarakan dukungan terhadap kebebasan berekspresi dengan mengirim surat ke Presiden Joko Widodo dan DPR RI agar merevisi UU ITE dan membebaskan mereka yang telah dikriminalisasi hanya karena menyampaikan ekspresinya secara damai.


“Publik punya peran yang sangat besar untuk mendorong negara menjamin hak-hak kita sebagai warga, termasuk kebebasan berekspresi,” kata Wirya. [Democrazy/tmp]

Penulis blog