DEMOCRAZY.ID - Tuntunan Jaksa Penuntut Umum KPK terhadap Bekas Menteri Sosial Juliari Peter Batubara menjadi sorotan publik.
Hal ini dikarenakan, tuntunan 11 tahun untuk Juliari dinilai terlalu ringan. KPK seharusnya, menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, menuntut Juliari dengan tuntutan hukum seumur hidup.
"Saya melihat kejahatan korupsi yang dilakukan, berupa bansos ya, apalagi ada relasinya di tengah masa pandemi, tentu 11 tahun agak jauh dari hukuman minimal. Setidak-tidaknya ancaman hukuman seumur hidup harusnya jadi pilihan dari aparat penegak hukum terutama JPU," kata Feri saat dihubungi, Kamis (29/7/2021).
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga berharap demikian.
Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana ada empat alasan mengapa tuntutan seumur hidup layak diberikan pada Juliari.
Pertama saat melakukan kejahatan, Juliari mengemban jabatan sebagai pejabat publik.
Kedua, Juliari melakukan tindakan korupsi di tengah pandemi Covid-19.
Ketiga, selama persidangan Juliari belum pernah mengakui perbuatannya.
Keempat, praktek korupsi yang dilakukan Juliari berdampak secara langsung pada masyarakat.
Ancaman hukuman mati bagi koruptor anggaran bencana
Sebelum Juliari tertangkap, pada 27 Maret 2021, Ketua KPK Firli Bahuri pernah mengintakan para pejabat bahwa korupsi anggaran penanganan bencana, termasuk penanganan Covid-19, dapat dikenakan hukuman mati.
"Ingat, ancaman hukuman mati koruptor anggaran bencana dan proses pengadaan darurat bencana," ujar Firli dalam keterangan tertulis, Jumat (27/3/2020).
Saat itu, Firli mengatakan penyelamatan jiwa manusia dalam pandemi virus Corona saat ini menjadi prioritas KPK.
"Kita dalam keadaan keprihatinan atas bencana corona, mari kita meningkatkan rasa empati, peduli, dengan bangsa ini dengan tidak melakukan korupsi," kata Firli.
Berselang 9 bulan kemudian, usai Juliari ditangkap oleh KPK, Firli pun kemudian menyinggung kembali Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Aturan itu menyatakan, jika suatu tindak pidana korupsi dilakukan dalam kondisi tertentu maka bisa dijatuhkan pidana mati.
"Kita juga paham pandemi Covid-19 ini telah dinyatakan oleh pemerintah sebagai bencana nonalam. Sehingga kami tidak berhenti sampai di sini. Tentu kami akan bekerja berdasarkan saksi dan bukti-bukti apakah bisa masuk Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut," kata Firli dalam konferensi pers secara daring pada Minggu (6/12/2020).
Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
Sementara Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan".
Sedangkan penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, "Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi".
Firli mengaku, KPK masih harus bekerja keras untuk bisa membuktikan adanya pelanggaran sebagaimana yang dimaksud oleh aturan itu.
"Malam ini yang kita lakukan ini adalah berupa tindak pidana dugaan penerima suap oleh penyelenggara negara, jadi itu dulu," ucap Firli. Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej juga pernah menyebut Juliari layak dituntut ancaman hukuman mati. "Kedua mantan menteri ini (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara) melakukan perbuatan korupsi yang kemudian terkena OTT KPK. Bagi saya mereka layak dituntut Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatannya sampai pidana mati," ucap Eddy. [Democrazy/trb]