DEMOCRAZY.ID - Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia ( PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta dikepung massa di saat fajar pada 27 Juli 1996.
Sebab musabab pengepungan itu, karena ada pihak yang tidak suka dengan kemenangan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998 berdasarkan kongres partai di Jakarta pada 1993.
Pihak yang dimaksud adalah Soerjadi dan kelompok pendukungnya.
Soerjadi, pada 22 Juni 1996, menggelar kongres tandingan partai di Medan.
Kongres menetapkan Soerjadi sebagai ketua umum periode 1996-1998.
Kepala Staf Sosial Politik ABRI saat itu, Letjen Syarwan Hamid, menyatakan pemerintah mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan.
Dengan demikian, pemerintahan Orde Baru saat itu tidak mengakui adanya DPP PDI pimpinan Megawati.
Namun, dukungan untuk Megawati mengalir, terutama dari aktivis dan mahasiswa yang menentang rezim Soeharto.
Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro menjadi salah satu lokasi utama untuk pemberian dukungan kepada Megawati.
Berbagai upaya penyelesaian sengketa tidak berhasil, hingga akhirnya terjadi bentrokan pada 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebagai peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) .
Kronologis Kerusuhan
Dikutip dari Harian Kompas, 29 Juli 1996, bentrokan diawali saat massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan pada pukul 06.20 WIB.
Massa pendukung Soerjadi saat itu mengenakan kaus berwarna merah bertuliskan "DPP PDI Pendukung Kongres Medan" serta ikat kepala.
Mereka datang dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning.
Sebelumnya, massa melakukan dialog dengan massa pendukung Megawati yang meminta agar kantor dinyatakan status quo.
Namun, kesepakatan tak tercapai.
Setelah itu, pada pukul 06.35 WIB terjadi bentrokan di antara kedua kubu.
Massa pendukung Soerjadi melempari Kantor DPP PDI dengan batu dan paving-block.
Massa pendukung Megawati pun membalas dengan benda seadanya di sekitar halaman kantor.
Kemudian, mereka berlindung di dalam gedung kantor sebelum akhirnya diduduki massa pendukung Soerjadi.
Tepat pukul 08.00 WIB, aparat keamanan mengambil alih dan menguasai Kantor DPP PDI.
Sebelumnya, bangunan kantor dikuasai oleh massa pendukung Megawati sejak awal Juni 1996.
Setelah pendudukan itu, Kantor DPP PDI dinyatakan sebagai area tertutup dan tidak dapat dilewati.
Bahkan, pers tidak diperkenankan melewati garis polisi. Kantor DPP PDI juga dijaga pasukan anti huru-hara.
Pada pukul 08.45 WIB, aparat mulai mengangkut sekitar 50 warga pendukung Megawati yang tertahan di kantor dengan menggunakan tiga truk, sementara sembila orang lainnya diangkut dengan dua ambulans.
Selepas itu, pada pukul 11.00 WIB, massa yang memadati ruas Jalan Diponegoro dan sekitarnya terus membengkak dari ratusan orang menjadi ribuan.
Sejumlah aktivis LSM serta mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api di dekat Stasiun Cikini.
Mimbar ini lalu beralih ke Jalan Diponegoro dan dengan cepat berubah menjadi bentrokan dengan aparat keamanan.
Bentrokan terbuka akhirnya meningkat pada pukul 13.00 WIB, yang membuat aparat menambah kekuatan.
Kemudian, massa terdesak mundur ke arah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Jalan Salemba.
Dua jam setelahnya, massa mulai membakar tiga bus kota dan beberapa bus tingkat di Jalan Salemba.
Tak hanya itu, mereka juga membakar beberapa gedung yang ada di Jalan Salemba.
Merespons keadaan ini, aparat mendatangkan lima panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk, dan sejumlah kendaraan militer lain pada pukul 16.35 WIB.
Setelah itu, massa membubarkan diri dan akhirnya pada pukul 19.00 WIB, api dapat dipadamkan.
Korban dan Kerugian Kerusuhan Setelah kejadian, sebanyak 171 orang ditangkap karena melakukan perusakan dan pembakaran.
Dari jumlah tersebut, 146 orang merupakan massa pendukung Megawati dan oknum lain, sementara 25 orang merupakan massa pro-Soerjadi.
Kerusuhan hari itu mengakibatkan 22 bangunan rusak, misalnya Gedung Persit Chandra Kartika milik Angkatan Darat, lalu Bank Kesawan dan Bank Exim.
Massa juga membakar bangunan lain, antara lain Bank Swarsarindo Internasional, Show Room Toyota, Bank Mayapada dan gedung Departeman Pertanian.
Selain itu, kerusuhan juga mengakibatkan terbakarnya 91 kendaraan, termasuk lima bus kota dan 30 kendaraan yang ada di ruang pameran, serta dua sepeda motor.
Jumlah korban simpang siur
Namun, informasi tentang jumlah korban tewas dan luka, simpang siur.
Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso menyebut "hanya" dua orang yang tewas dan 26 luka-luka.
Ini pun disebut bukan dari kubu Mega, melainkan dari kubu Soerjadi yang mengalami serangan jantung.
Satu lagi adalah satpam yang loncat dari lantai tujuh karena gedungnya hendak dibakar massa.
Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang kala itu dipimpin Bambang Widjojanto menyatakan 47 orang dirawat di RSCM, 10 orang dirawat di RS Cikini, dan 1 orang di RS Fatmawati.
Minggu 28 Juli 1996 sekitar pukul 09.00 WIB, tiga mobil jenazah keluar dari RS Cikini dengan pengawalan tentara.
Kamar mayat RS Cikini dijaga ketat oleh tentara yang melarang siapa pun mendekat.
Di hari yang sama, sejumlah wartawan yang sempat masuk ke kamar mayat RSCM menjumpai puluhan mayat yang penuh luka penganiayaan.
Sementara Komnas HAM menyimpulkan lima orang tewas, 149 orang luka-luka, 23 hilang, dan 136 ditahan akibat peristiwa itu.
Penyelidikan digelar dengan kewenangan terbatas Komnas HAM, tetapi tak pernah ada tindak lanjut.
Pihak ABRI saat itu menuding kerusuhan dimotori kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Partai Rakyat Demokratik (PRD) turut dituding jadi dalang kerusuhan.
Aktivis PRD Budiman Sudjatmiko yang kini jadi anggota DPR dari PDI-P dijebloskan ke penjara dengan hukuman 13 tahun penjara. [Democrazy/trb]