DEMOCRAZY.ID - Masih hangat diperbincangkan warganet aksi BEM UI yang mengunggah kritikan yang menyatakan Presiden Jokowi 'The King of Lip Service'.
Aksi tersebut menuai banyak sorotan berbagai pihak termasuk aktivis hak asasi manusia (HAM) Veronica Koman.
Kini Vero menyoroti pemilihan rektor perguruan tinggi yang saat ini dipilih presiden dan bukan lagi oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Melalui akun Twitter @VeronicaKoman, ia mengunggah headline artikel pernyataan Mendagri pada 2017 yang menyatakan bahwa rektor dipilih oleh presiden.
Vero menilai rektor yang kini dipilih presiden menjadi salah satu alasan perguruan tinggi tidak lagi memiliki sikap kritis terhadap penguasa.
“Oh ini kenapa kampus-kampus tak lagi kritis terhadap penguasa... Gokil berbagai lini dilemahkan, tapi kalo ditanya ntar #YNTKTS,” cuitnya pada Selasa, 29 Juni 2021.
Sementara itu dilansir Galamedia dari Antara, pada Juni 2017 Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan penentuan rektor perguruan tinggi negeri akan dikonsultasikan pada presiden, tak lagi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Perubahan itu disebabkan munculnya kesadaran baru sekaligus keprihatinan terkait penyelenggaraan pendidikan dan penelitian ideologi Pancasila serta wawasan kebangsaan.
Awalnya, semua calon rektor yang dipilih senat akademik ditentukan oleh majelis wali amanat perguruan tinggi dengan salah satu pemegang suara terbanyak dipegang Menristek dan Dikti.
Sementara perubahan yang diwacanakan adalah pembentukan tim penilai akhir yang dipimpin presiden.
Seiring perubahan tersebut muncul kekhawatiran politisasi lembaga akademik.
Secara politis dan nalar birokratis, Menristek dan Dikti adalah pihak terdepan dan paling memiliki kewenangan serta kesanggupan memahami dunia perguruan tinggi.
Sejak pembentukan tim penilai akhir terkait dengan pemilihan rektor dilakukan oleh presiden, sebagian pihak menilainya sebagai perpanjangan tahap birokratis yang membuka peluang masuknya kepentingan politis.
Oleh karena itu, di tengah tantangan besar mengatasi persoalan kebangsaan yang salah satu ancamannya adalah tercabiknya anyaman kebangsaan, maka menyerahkan masalah pemilihan rektor ke tangan presiden hanya menambah pekerjaan yang implikasi negatifnya jauh lebih besar ketimbang dampak positifnya.
Polemik pemilihan rektor oleh presiden saat itu juga menimbulkan kecemasan sejumlah kalangan akademis tentang melemahnya semangat otonomi dalam pemilihan rektor perguruan tinggi serta semakin menguatnya semangat politisasi dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. [Democrazy/gmd]