DEMOCRAZY.ID - Pakar Hukum Tata Negara dari UNS Solo, Agus Riewanto menanggapi wacana yang mencuat belakangan ini, yakni Presiden Jokowi menjabat tiga periode.
Agus menilai wacana tersebut bisa berbahaya jika sampai terlaksana.
Awalnya Agus menjelaskan berdasarkan UUD 1945 dan konstitusi yang ada saat ini, wacana presiden tiga periode tidak mungkin untuk terlaksana.
Menurutnya itu akan menabrak konstitusi seperti tercantum pada Pasal 7 UUD 1945.
"Iya kalau dilihat dari konstitusi dan ketentuan UUD 1945 jelas dinyatakan presiden dan wakil presiden hanya boleh menjabat dua kali masa jabatan ya, setelah itu tidak dapat dipilih kembali, di pasal 7 UUD 1945. Jadi kalau dilihat dari konstitusi itu tidak memungkinkan seorang presiden yang sudah menjabat dua kali bisa ajukan diri atau calonkan diri kembali karena akan menabrak konstitusi, itu kalau dari aspek konstitusinya," ucap Agus saat dihubungi, Sabtu (19/6/2021).
Dia menyebut wacana itu mungkin terlaksana dengan catatan harus adanya perubahan via amendemen konstitusi.
Namun demikian amendemen UUD 1945 juga tidak mudah dan memiliki sejumlah syarat.
"Ya kalau mengubah presiden dari dua periode jadi tiga periode satu-satunya jalan amendemen konstitusi di pasal itu, amendemen konstitusi itu merupakan kewenangan MPR itu terdiri dari DPR dan DPD, amendemen bukan tidak boleh, tapi boleh, sepanjang memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 36 UUD 1945, di pasal itu begitu rigid diceritakan bagaimana amandemen itu mesti dilakukan kan, harus dihadiri oleh 2/3 (anggota DPR dan DPD), kemudian disetujui dalam rapat paripurna, itu dalam pasal itu begitu rigid," ucapnya.
Ketika seandainya sudah tercapai amendemen itu dan disepakati MPR, Agus mengingatkan ini bakal memberikan sejumlah dampak kepada Indonesia.
Salah satunya, kata Agus, Indonesia akan kembali lagi pada era Orde Baru dengan timbulnya perlawanan dari masyarakat antipemerintah.
"Saya khawatir jika ini dipaksakan dan publik tidak banyak yang terlibat atau partisipasi yang luas, bisa jadi ada social disobedience, atau gerakan sosial yang mungkin anti-pemerintahan Jokowi, seperti terulang lagi tahun 1998. Dampaknya sangat luas ini," kata Agus.
Tak hanya itu, Agus juga menyebut terlaksanannya wacana Jokowi 3 periode juga berdampak pada regenerasi kepemimpinan.
Bukan hanya kepemimpinan di pusat, menurutnya kepemimpinan di daerah juga akan terdampak.
"Kalau seseorang menjabat selama 15 tahun kan berarti ada kemandekan 15 tahun, regenerasi, kita akan kehilangan momentum 15 tahun akan lahir pemimpin politik baru ya secara nasional. Itu akan mengganggu juga kepemimpinan politik di daerah, gubernur, bupati, wali kota, itu akan diikuti nanti kalau presiden 3 periode maka gubernur wali kota itu 3 periode," jelaskan.
Bayangan suram soal presiden tiga periode tak hanya sampai di level pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah.
Risikonya, kepala daerah juga bakal ikut-ikutan bisa memperpanjang sampai tiga periode. Regenerasi pemimpin politik di level daerah bakal kena dampaknya.
"Jadi logikanya, kalau ini digunakan logika koherensi, kalau presiden tiga periode, amendemen tiga periode, boleh jadi kepala daerah itu juga tiga periode. Itu artinya kita akan momentum generasi politik selama 15 tahun dari nasional sampai ke daerah," lanjutnya.
Agus juga menyebut akan timbul kekuasaan di semua lini negara mulai dari eksekutif hingga legislatif.
Pemerintah, kata dia, juga akan cenderung menjadi otoriter dengan kepemimpinan tiga periode ini.
"Ada potensi penguasaan semua lini kuasa, eksekutif, legislatif, dan seterusnya, membuat pemerintah cenderung otoriter, dia mementingkan kelompok tertentu, itu agak berbahaya, karena tidak ada yang menjamin ketika semua orang kuasai parlemen itu tidak menguasai semua aspek, itu berarti pemerintah kita hanya jatuh di tangan orang-orang khusus dan oligarki ya, kelompok kelompok yang mendukung kekuasaan itu. Ini mematikan oposisi, anda bisa bayangkan suara oposisi mesti kerja keras, menunggu 15 tahun baru berganti kekuasaan," tuturnya.
Begitulah gambaran suasana politik bila presiden menjabat tiga periode, tentu saja menurut Agus Riewanto. [Democrazy/dtk]