Dalam pidatonya di acara "Merawat Reformasi" Partai Ummat secara daring, Kamis malam (20/5).
Amien mencontohkan beberapa gerakan massa alias poeple power yang terjadi di China untuk menumbangkan Deng Xiaoping di Lapangan Tiananmen, Beijing dan gerakan massa untuk menumbangkan presiden Philipina Ferdinan Edralin Marcos di tahun 1986.
"Kita juga ada poeple power, pada 20 Mei 1998, dimana pemuda dan mahasiswa kumpul di jalan," kata Amien.
Saat itu, Amien yang juga menjadi salah satu tokoh reformasi mengingat ketika poeple power terjadi pada tahun 1998, suasana sangat tidak terkendali.
Hingga akhirnya ia mendapat kabar bahwa pak Harto akan mundur besok (21 Mei 1998).
Ia mengingat pada malam hari 20 Mei 2021, dihubungi oleh salah satu petinggi TNI, yang mewanti-wantinya agar membatalkan acara syukuran jatuhnya Presiden Soeharto di Monas.
"Saya diminta untuk membatalkan acara di Monas. Dia bilang, pak Amien kami (TNI) akan membubarkan apapun caranya, walaupun seperti tragedi Tiananmen," kata Amien.
Namun, Amien berubah simpati melihat jiwa kesatria Soaherto yang lebih memilih untuk mundur ketimbang mempertahankan kekuasaannya.
Padahal, kata Amien, Presiden ke-2 RI itu sangat mudah dan bisa menggerakan seluruh kekuatan aparat keamanan untuk melanggengkan kekuasaan.
"Ketika beliau punya kemampuan kerahkan kekuatan militer, tapi nuraninya muncul, kemudian nilai sapta marganya itu mengalahkan hasrat mempertahankan kekuasaan, hingga akhirnya besok pagi hari (21 Mei 1998) pak Harto memutuskan untuk mundur dari jabatan," ungkap Amien.
Untuk itu, ia mengingatkan Presiden Joko Widodo bahwa saat ini kondisi negara sudah dikuasi oleh oligarki baik politik maupun ekonomi.
Bahkan, Amien menyesalkan, budaya KKN yang dahulu ditentang kini justru tumbuh subur.
"Saya ingatkan pak Jokowi, pak Harto 32 tahun berkuasa, akhirnya tumbang. Jangan sampai pak Jokowi berakhir kurang elegan," demikian Amien. [Democrazy/rmol]