Dia menduga, langkah hukum yang diambil Polri berkaitan dengan pesanan pihak penguasa.
"Kasus unlawful killing ini jelas masalah politik kekuasaan," kata Novel dalam keterangannya, Kamis (8/4).
Novel menuding, lambat dan tertutupnya Polri mengusut kasus unlawful killing karena ada pesanan "cukong komunis".
Dia menganggap, aksi unlawful killing merupakan cara "komunis" agar terus eksis menguasai negara ini dengan cara biadab melakukan teror.
"Sedari awal, pembantaian biadab terhadap 6 syuhada laskar FPI adalah pembantaian sadis yang sangat bertentangan dengan Pancasila," ujar Novel.
Novel menuntut, agar kasus unlawful killing dituntaskan sesuai hukum yang berlaku.
Dia menyayangkan, kalau nama FPI sebagai organisasi yang dibubarkan pemerintah terus saja diganggu dengan isu terorisme.
"Untuk itu, harus diusut tuntas bukan membuat tandingan dengan menterosasikan (tuduhan keterlibatan aksi terorisme) ormas yang selama ini paling terdepan menjaga Pancasila," ucap Novel.
Diketahui, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan tiga anggota Polda Metro Jaya sebagai tersangka dengan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atas tewasnya empat Laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek.
Awalnya, tiga orang tersebut berstatus sebagai terlapor, dan satu diantaranya telah meninggal dunia akibat kecelakaan.
Untuk salah satu tersangka berinisial EPZ yang telah meninggal dunia terlebih dulu maka penyidikannya diberhentikan. Keputusan pemberhentian ini berdasarkan pasal 109 KUHAP.
Adapun dua tersangka tersisa belum dilakukan penahanan meski sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Terkait alasan tidak dilakukan penahanan terhadap dua tersangka kasus pelanggaran HAM tersebut, polisi mengklaim memiliki pertimbangan sendiri. [Democrazy/rep]