Menurut Said, ia pernah menerima 980 riwayat hidup atau CV yang diusulkan oleh berbagai pihak.
Di antara ratusan CV itu, bertebaran nama calon anggota legislatif yang gagal dalam pemilihan umum hingga tim sukses presiden dan wakil presiden.
Said mengaku harus menyingkirkan nama-nama yang tidak layak.
“Dari namanya ada relawan, caleg gagal, macam-macam. Lalu saya masukkan tong sampah yang saya anggap tidak memenuhi kriteria,” ujar Said dalam diskusi virtual, Jumat 9 April 2021.
Saat itu, hanya 100 dari 980 CV yang dianggap memenuhi standar dan layak menjadi calon bos BUMN.
Artinya, Said menyingkirkan 880 nama. Langkah tersebut mesti ia lakukan agar BUMN dipimpin oleh tokoh-tokoh yang mumpuni.
“Harus dilakukan walau harus dibenci orang,” kata Said.
Ia menghindari kuatnya kepentingan politik dalam kebijakan pengangkatan pemimpin perusahaan pelat merah.
Apalagi, menurut Said, 90 persen masalah di BUMN, seperti korupsi, disebabkan oleh intervensi non-korporasi.
Kepentingan kelompok tertentu pun dikhawatirkan bakal membuka celah praktik rasuah.
“Kalau dia, direksi, terlalu ‘menikmati’, ini akan membuka pintu untuk ‘tikus-tikus’,” ujar Said.
Selain menyeleksi nama calon bos BUMN, Said bercerita pernah mengambil kebijakan menghindari terjadinya conflict of interest dari pejabat kementerian yang menjadi komisaris perusahaan.
Menurut Said, pejabat kementerian tidak boleh menjadi komisaris di perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor yang sama dengan institusi yang dipimpinnya.
Misalnya, pejabat Kementerian Perhubungan tidak akan ditunjuk menjadi komisaris di perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor transportasi.
Said lantas mengkritik kursi komisaris perusahaan pelat merah saat ini yang banyak diisi oleh tim sukses Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Said mempertanyakan beberapa nama, seperti Komisaris Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Said Aqil Siradj.
“Gimana logikanya Komisaris Utama KAI diisi Ketua Umum PBNU. Tolonglah carikan tempat-tempat yang ada gunanya,” kata Said.
Ia juga menyoroti penunjukan Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rahman, sebagai Komisaris Utama PT Waskita Karya.
Sebagai komisaris, Fadjroel dianggap harus menunjukkan fungsi pengawasannya terhadap perusahaan kini tengah menanggung beban utang hingga Rp 90 triliun.
“Jadi kalau mau menyehatkan BUMN, tutup jendela politik masuk. Hanya yang tidak mencintai dan menikmati jabatan yang bisa melakukan itu,” ujar Said Didu. [Democrazy/tmp]